Awal Lebaran Berbeda, Ternyata Sudah Terjadi Sejak Masa Kolonial Belanda

Awal Lebaran
Ilustrasi anak-anak yang merayakan lebaran. (Unplash)

Metaranews.co, Hiburan – Awal Lebaran tahun 2023 di Indonesia berbeda. Bagiamana jejak sejarahnya hingga saat ini?

Untuk diketahui, Muhammadiyah akan merayakan lebaran 2023 lebih dulu, tepatnya pada Jumat (21/4/2023). Sementara itu, Pemerintah masih akan menunggu sidang Isbat Kementerian Agama (Kemenag) guna memutuskan kapan Idul Fitri tiba.

Bacaan Lainnya

Muhammadiyah, sudah memiliki penanggalan sendiri yang diperoleh dari hasil hisab hilal yang sebenarnya. Muhammadiyah hanya menggunakan metode hisab untuk menentukan awal bulan baru dalam penanggalan Hijriah.

Sementara itu, pemerintah dan NU menggunakan kombinasi hisab dan rukyatul hilal (pengawasan hilal).

Sudah Terjadi Sejak Masa Kolonial Belanda

Sebenarnya, fenomena Perbedaan hari raya idul Fitri di Indonesia sudah terjadi sejak masa kolonial Belanda. Sehingga, jika memperdebatkan perbedaan perihal ini, tampaknya sudah usang.

Sudah dijelaskan pada ulasan diatas, bahwa perbedaan penentuan Hari Raya Idul Fitri di Indonesia menggunakan beberapa metode. Seperti Muhammadiyah yang menggunakan metode hisab.

Kemudian, pihak pemerintah dan juga Nahdlatul Ulama (Ulama) menggunakan metode rukyat. Sekali lagi, fenomena ini bukan yang pertama, bahkan sudah sering, bahkan menimbulkan perdebatan, sejak masa penjajahan penjajahan Belanda.

Melansir catatan orientalis dan pakar Islam dari Belanda, Snouck Hurgonje.  Dalam catatan berjudul ‘Nasihat C. Snouck Hurgronje Selama Pengabdiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936 Jilid VIII (1994)’ Snouck menceritakan,  bahwa ada dua cara penghitungan hilal peringatan 1 Syawal pada masa kolonial.

Pertama, berdasarkan penanggalan dan penglihatan bulan baru atau new moon.  Biasanya cara ini dilakukan oleh para muslim terpelajar yang paham astronomi atau astronomi. Mereka melakukannya dengan melihat langsung ke bulan di langit di dataran tinggi.

Sedangkan cara kedua, berdasarkan penanggalan yang ditentukan oleh pemerintah Belanda. Tanggal ini tanpa perhitungan khusus dan hanya menghitung hari sejak hari pertama puasa dilaksanakan.

Pada zaman kolonial, Snouck melihat banyak orang yang mengikuti cara pertama. Jika sekarang perhitungan empiris atau rukyat dilakukan dengan ketentuan, seperti ketinggian bulan dalam derajat tertentu, maka pada masa kolonial tidak demikian.

Pengamat atau saksi hanya perlu melihat bulan. Jika kita telah melihatnya, itu akan divalidasi. Hasil pengesahan ini akan dikirim ke pemerintah kolonial untuk ditetapkan 1 Syawal.

Namun karena setiap daerah di Indonesia memiliki ketinggian yang berbeda, maka hasilnya pasti akan berbeda. Di beberapa daerah tertentu mungkin bulan terlihat, tapi tidak di daerah lain

Akibat perbedaan ini, tulis Ensiklopedia Hisab Rukyat (2005), hari raya Idul Fitri juga berbeda. Meski begitu, untuk menyiasatinya, pemerintah kolonial biasanya akan mencari suara terbanyak.  Jika bulan belum terlihat, maka hari raya Idul Fitri ditambah satu hari untuk memenuhi puasa 30 hari.

Terjadi Tiga Kali Perbedaan Hari Raya Idul Fitri

Melansir berbagai sumber, di Indonesia, perbedaan awal hari raya Idul Fitri sebenarnya sudah tiga kali terjadi. Tepatnya pada tahun 2006, 2007, dan 2011.

Perbedaan tersebut hanya terjadi tiga kali. Dan selama 10 tahun terakhir, umat Islam di Indonesia selalu merayakan Hari Raya Idul Fitri bersamaan. Baik bagi umat Islam yang mengikuti arahan pemerintah maupun Muhammadiyah.

Perbedaan tersebut bukan tanpa alasan, penentuan jatuhnya 1 Syawal di Indonesia ditentukan melalui dua kriteria penentuan hilal atau imkanur rukyat.

Dalam Fatwa MUI Nomor 2 Tahun 2004, pemerintah memutuskan untuk menggabungkan dua metode penetapan awal bulan kamariyah yaitu hisab (perhitungan) dan rukyat (pemantauan) dalam menentukan awal bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah.

Lebih lanjut, dengan cara ini, mengharuskan pemerintah terlebih dahulu melakukan perhitungan astronomi mengenai posisi bulan baru pada hari ke-29 bulan berjalan. Selanjutnya, pemerintah perlu memantau hilal saat matahari terbenam di hari yang sama.

Jika nantinya posisi hilal memenuhi kriteria baru yang ditetapkan Menteri Agama Brunei, Indonesia, Singapura dan Malaysia (MABIMS) yaitu hilal 3 derajat dengan sudut elongasi 6,4 derajat, maka dapat disimpulkan bahwa pergantian bulan lunar telah terjadi.

Sementara itu, Muhammadiyah hanya menggunakan metode hisab hilal untuk menentukan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah.

Melalui metode ini, pergantian bulan terjadi ketika tiga syarat terpenuhi pada tanggal 29 bulan berjalan, yaitu terjadi ijtima, ijtima terjadi sebelum matahari terbenam, dan bulan masih berada di atas ufuk saat matahari terbenam.

Dalam metode hisab ini, posisi bulan akan dijadikan sebagai penanda masuknya periode awal penanggalan Hijriah.  Sedangkan posisi matahari digunakan sebagai penanda masuknya atau perubahan waktu sholat.

Sedangkan rukyat adalah kegiatan mengamati penampakan hilal. Yaitu penampakan bulan sabit yang muncul pertama kali setelah terjadinya ijtima’ (konjungsi), rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti teleskop.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *