Metaranews.co, Hiburan – Gerakan aktivisme media sosial yang memunculkan fenomena Cancel Culture, sebagai manuver masyarakat sipil menagih keadilan atau hanya untuk kesenangan?
Apakah fenomena ini akan berimbas jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang?
Dewasa ini, sudah tidak perlu diragukan lagi bagaimana canggihnya tekhnologi. Hanya dalam satu genggaman saja, apapun yang kita cari akan dengan mudah didapatkan.
Kecanggihan tekhnologi dalam satu sisi, sangat membantu masyarakat dalam mengarungi kehidupan. Contohnya saja, dengan banyaknya aplikasi yang memudahkan untuk mendapatkan jejaring.
Saat ini, jejaring lebih mudah didapatkan, hanya tinggal membuka media sosial, kita dapat menemukan teman dan informasi dari Sabang sampai Merauke. Namun, sisi lainnya, ada satu fenomena yang disadari maupun tidak, kini kerap terjadi.
Yak. Fenomena Cancel Culture. Melansir nytimes fenomena ini sejatinya bermula pada 1991, sebelum maraknya penggunaan media sosial, seperti Facebook dan Twitter.
Saat itu, ada ungkapan baru dalam bahasa gaul Tionghoa: renrou sousuo, yang secara harfiah diterjemahkan sebagai “pencarian daging manusia”.
Istilah tersebut mengacu pada upaya kolektif yang dilakukan oleh pengguna internet untuk menemukan informasi tertentu. Umumnya, hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi individu yang diduga melakukan kesalahan atau penyimpangan moral.
Setelah pelanggar diidentifikasi dan detail pribadi mereka terungkap secara online, mereka diburu, dikenakan kecaman verbal, dan dikeluarkan dari komunitas.
Berawal dari itu, sejarah Cancel Culture inimulai berkembang sejak tahun 2017 dan semakin populer hingga saat ini.
Menurut Kimberly Foster, pendiri situs web For Harreit, ia menjelaskan, fenomena ini adalah istilah yang dapat digunakan untuk berbagai tindakan, akibat mengatakan hal-hal yang menurut orang lain tidak menyenangkan, katanya seperti dilansir bbc.com.
Saat pertama kali digunakan di kalangan anak muda di internet, Cancel Culture ini adalah cara untuk mengatakan, “Aku sudah selesai denganmu”. Namun, karena fenomena ini semakin banyak digunakan di media sosial, kini fenomena ini telah berkembang menjadi cara untuk meminta orang lain menolak seseorang.
Alih-alih memengaruhi masyarakat umum, fenomena ini cenderung memengaruhi tokoh publik seperti selebritas dan pemimpin sosial politik. Selain orang-orang populer, fenomena ini juga terjadi di beberapa perusahaan ternama.
Ketika mereka melakukan hal-hal buruk atau mengatakan sesuatu yang menyinggung, kemungkinan mereka akan mendapatkan konsekuensi seperti terlibat dalam boikot oleh masyarakat melalui media sosial.
Boikot ini tidak hanya membuat mereka merasa dikucilkan secara sosial, tetapi juga menyebabkan hilangnya reputasi, karier yang sulit dipulihkan, dan terungkapnya kehidupan pribadi mereka.
Cancel Culture Merambat ke Doxxing
Semakin hari, zaman terus berkembang. Begitupun tekhnologi, disertai media sosial yang juga mengikuti arus perubahan. Dimensi ini, secara tidak langsung juga merubah cara pandang masyarakat untuk bermedia sosial.
Cancel Culture merupakan salah satu fenomena yang tidak dapat dipisahkan dari media sosial dan cara bermedia sosial masyarakat. Belum selesai dengan itu, muncul satu fenomena lainnya yakni Doxxing.
Apa itu Doxxing? Merujuk Wikipedia, Doxxing adalah praktik penyebaran informasi pribadi seseorang berbasis internet dengan tujuan menjatuhkan orang tersebut. Darimana informasi ini berasal? Biasanya dari media sosial atau jejak digital lainnya.
Dari banyak kasus yang terjadi di media sosial, jika seseorang terjebak dalam debat online dan mengeluarkan pendapat yang tidak biasa atau tidak sesuai dengan pendapat kebanyakan orang, serangan tidak lagi dikembalikan dalam bentuk jawaban terkait masalah atau ide pembuat opini.
Seringkali yang terjadi adalah, netizen justru berbalik menyerang secara pribadi si pembuat opini, terlepas dari ide yang dikemukakan, atau yang sering disebut ad hominem.
Jika hal ini sudah terjadi, biasnya akan berlanjut ke Doxxing. Hal pertama yang dilakukan yaitu dengan mengungkapkan data tempat bekerja pembuat opini, atau latar belakang pendidikan dan keluarganya, atau hal-hal lain. Ironisnya, hal ini biasanya juga dicantumkan di media sosialnya.
Hal ini bisa saja menjadi satu masalah besar, yang akibatnya akan tetap kembali ke Cancel Culture.
Merujuk Dictionary , Cancel Culture merupakan praktik yang sedang populer di media dengan berupaya menggalang dukungan untuk membatalkan seseorang jika ia telah melakukan atau menyatakan sesuatu yang menyinggung atau tidak menyenangkan.
Masalahnya, ketika kalimat “Kamu dibatalkan”, itu berarti seseorang telah dibatalkan dan pendapatnya tidak lagi layak untuk didengar.
Sebuah studi oleh Rob Henderson, menyebut, terlibat dalam fenomena Cancel Culture akan meningkatkan status sosial dengan menjatuhkan orang lain, serta memberikan peluang baru di tangga sosial.
Kemudian, itu menjadi motivasi besar bagi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Fenomena ini disebut sebagai Social Media Mobbing atau Mob Mentality dalam penggunaan media sosial.
Fenomena Cancel Culture ini, menurut studi yang dilakukan Rob, juga termasuk dalam bagian Cyberbullying. Itu dikarenakan, ciri-ciri yang ditampakkan oleh pelaku Cancel Culture dan Cyberbullying tergolong sama, yakni :
1. Pengecualian
Alih-alih mengajak korban berbicara di tengah masyarakat untuk membahas masalah lebih jauh sehingga terjadi peningkatan pengetahuan, bullying justru menjauhkan korban dari masyarakat, bahkan mengasingkan simpatisan korban juga.
2. Cyberstalking
Sejauh mana orang akan membenarkan pembatalan kegiatan orang lain bervariasi. Pelaku bullying bahkan akan menggali informasi dari masa lalu korban, termasuk informasi dari orang-orang yang dulu dikenal korban serta informasi sensitif atau pribadi.
Ini dikenal sebagai cyberstalking. Informasi tentang korban yang digali meliputi informasi pekerjaan, koneksi sosial, tempat tinggal, informasi akun media sosial, dan lain-lain. Cyberstalking pada akhirnya dapat menghasilkan aktivitas outing/doxing.
3. Pelecehan
Pelaku bully online akan menghina korban, menghina, mempermalukannya, termasuk memberikan julukan negatif kepada korban (name-calling). Bully juga sering mengunggah informasi pribadi atau sensitif dari korban (outing/doxing) untuk memperburuk citra mereka.
Manuver Cancel Culture dan Pengaruhnya Menjelang Pemilu 2024
Melansir tirto, pengamat politik dari Universitas Jember, M. Iqbal, menilai kritik publik merupakan bentuk penilaian sosial publik dengan pendekatan Cancel Culture.
Cancel Culture adalah upaya dan budaya warganet untuk menyingkirkan pejabat dan tokoh masyarakat dari interaksi dan tatanan sistem sosial akibat perilaku pejabat atau tokoh yang dianggap telah melampaui norma sosial, seperti melenturkan narsisme atau pamer. kekayaan.
Berbagai bentuk fenomena ini antara lain Doxxing atau “menguliti dan mengekspos sisi gelap” seseorang karena pola perilakunya yang berlebihan. Semuanya dilakukan karena netizen menilai tindakan pejabat tersebut sudah keterlaluan.
“Pola perilaku yang sangat tidak baik ini dinilai netizen sangat menyinggung rasa keadilan sosial dan melanggar batas-batas kemanusiaan. Akibatnya memicu kemarahan masyarakat. Sehingga terjadilah gerakan budaya untuk menghapus atau membatalkan budaya. Utamanya Tujuan sebenarnya sangat positif, yaitu mempercepat “keadilan sosial” ketika proses hukum normatif begitu lambat bahkan seringkali tidak memenuhi keadilan sosial,” kata Iqbal, Jumat (28/4/2023).
Iqbal juga mengutip pernyataan pakar komunikasi Spanyol, Manuel Castell, yang menandai fenomena tersebut dalam sebuah karya fenomenal tahun 2012 berjudul ‘Networks of Outrage and HopeSocial Movements in the Internet Age’.
Munculnya jaringan kemarahan dan harapan menandai maraknya aktivisme gerakan sosial di internet untuk menumbuhkan rasa keadilan sosial.
Cancel Culture sangat baik jika dilihat dari sudut pandang komunikasi politik, jika aturan hukum melemah. Hal ini akan lebih masuk akal jika pemerintah mengambil tindakan yang terkesan diskriminatif dan tendensius, seperti penerapan pasal karet dalam UU ITE.
Kemudian muncul gerakan aktivisme seperti @PartaiSocmed yang kemudian mengambil alih upaya perbaikan melalui aktivisme gerakan sosial untuk memenuhi rasa keadilan tersebut.
Apakah akan berdampak pada pemilu dan tahun politik? Iqbal tak memungkiri aksi budaya batal akan berdampak pada Pemilu 2024. Dia mengingatkan, era digital, media sosial yang masif, dan posisi pemilih muda yang mencapai 60 persen akan berdampak.
“Besarnya populasi ini tentu bisa positif dan negatif tergantung kecerdasan digital yang dimiliki netizen. Jika minim atau bahkan tanpa etika dan budaya digital, bisa jadi arena pemilu akan dipenuhi dengan kekerasan digital dan ujaran kebencian. Tentu ini akan menjadi pertaruhan dan ujian besar bagi budaya dan kedewasaan demokrasi Indonesia,” kata Iqbal.
Selain itu, situasi politik Indonesia menurut pandangan Iqbal, tidak sepenuhnya mencerminkan keadilan dalam pemerintahan Jokowi. Ia melihat dari sikap Jokowi yang justru terkesan berkoalisi akbar dan berpihak pada capres PDIP Ganjar Pranowo dan masih ada narasi degradasi Anies Baswedan.
Iqbal menegaskan, Pemilu 2024 bisa saja diatur sedemikian rupa untuk mendegradasi pemilu melalui keberadaan tim sukses, relawan, dan pasukan buzzer. Situasi pemilu 2024 di era platform media sosial berpotensi semakin disrupsi, sementara ceruk pemilih milenial dominan.
“Penyebaran fakta palsu, penyerangan terhadap konten kebencian serta manipulasi dan distorsi informasi sangat mungkin merajalela hingga menjadi sembarangan. Dalam konteks inilah seharusnya semua elemen penyelenggara pemilu dikelilingi oleh aturan yang tegas dan adil,” ujarnya.
“Bahkan sistem pengawasan dan penegakan hukum juga harus dibentuk agar tersosialisasi dengan baik secara merata dan sampai ke tingkat pemilih. Termasuk tanggung jawab pendidikan politik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu.” pungkasnya.