Dalem Banget!! Ini Filosofi dan Makna Ketupat Menurut Orang Jawa

Ketupat
Ilustrasi ketupat. (Unplash)

Metaranews.co, Kediri – Ketupat umumnya disajikan pada Hari Raya Idul Fitri. Makanan tradisional berbahan dasar beras ini disajikan hampir di seluruh Indonesia untuk menjamu keluarga, saudara, atau tetangga yang datang ke rumah saat lebaran. 

Dibalik khas-nya ketupat, menurut orang jawa makanan yang satu ini rupanya memiliki makna dan filosofi yang mendalam. Berikut maknanya kami rangkum di bawah ini;

Bacaan Lainnya

Ketupat atau kupat dalam bahasa jawa diartikan sebagai “laku papat” yang menjadi simbol dari empat segi ketupat. 

Laku papat sendiri memiliki filosofi empat tindakan yang terdiri dari lebaran, luberan, leburan, laburan. 

Lebaran dalam hal ini yaitu suatu tindakan yang berarti telah selesai yang diambil dari kata lebar. Selesai dalam menjalani ibadah puasa dan diperbolehkan untuk menikmati makanan. 

Kedua, Luberan berarti meluber, melimpah yang menyimbolkan agar melakukan sedekah dengan ikhlas bagaikan air yang berlimpah meluber dari wadahnya. Oleh karena itu tradisi membagikan sedekah di hari raya Idul Fitri menjadi kebiasaan umat Islam di Indonesia.

Ketiga, Leburan berarti lebur atau habis. Maksudnya adalah agar saling memaafkan dosa-dosa yang telah dilakukan. sehingga segala kesalahan yang telah dilakukan menjadi suci bagai anak yang baru lahir. 

Keempat, Laburan berarti bersih putih berasal dari kata labur atau kapur. Harapan setelah melakukan Leburan agar selalu menjaga kebersihan hati yang suci. Manusia dituntut agar selalu menjaga perilaku dan jangan mengotori hati yang telah suci.

Tak hanya itu, setiap bagian dari ketupat memiliki filosofi tersendiri, antara lain daun, bentuk dan anyaman ketupat, serta isi ketupat. 

Janur atau daun kelapa muda menjadi pembungkus ketupat. Janur menurut filosofi Jawa merupakan kepanjangan dari ‘benarne nur’, artinya manusia dalam keadaan suci setelah berpuasa di bulan Ramadhan. Dalam budaya Jawa, janur juga diyakini sebagai titik awal pembuatan kayu.

Bentuk dan anyaman ketupat. Anyaman intan sangat rumit, artinya kehidupan manusia penuh dengan liku-liku, pasti ada kesalahan dan kelupaan. Anyaman pada intan sangat kuat, diharapkan akan saling menguatkan lahir dan batin.

Ketupat yang berbentuk segi empat, melambangkan empat nafsu dunia yaitu, amarah, lapar, keinginan untuk memiliki sesuatu yang indah, dan keinginan untuk memaksakan diri. Orang yang makan ketupat diibaratkan mampu mengendalikan empat nafsu saat berpuasa. Bentuk ketupat yang berbentuk persegi panjang juga memiliki arti kiblat papat lima pancer yang berarti empat arah mata angin dan satu pusat yaitu arah kehidupan manusia yang pusatnya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Isi ketupat. Butir nasi yang dibungkus daun kelapa merupakan simbol kebersamaan dan kemakmuran. Jika ketupat dibelah, warna putihnya melambangkan kebersihan setelah memaafkan.

Hidangan pelengkap. Ketupat biasanya dimakan dengan kuah santan seperti opor, rendang, atau gulai. Santan (santen) memiliki filosofi Jawa yaitu pangapunten atau memohon ampun. Dengan begitu, ketupat memiliki filosofi yang mencerminkan kebersihan dan kesucian hati setelah memohon ampunan dari segala kesalahan.

Ketupat juga disajikan tujuh hari setelah Idul Fitri, tepatnya pada tanggal 8 Syawal yang disebut Lebaran Ketupat, dimana sebelumnya umat Islam berpuasa Syawal pada 2-7 Syawal. Hal ini berdasarkan sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menganjurkan umat Islam untuk berpuasa sunnah 6 hari di bulan Syawal.

Tradisi lebaran ketupat ini juga diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga. Pada lebaran ketupat, masyarakat menyajikan ketupat dan lauk pauknya untuk disantap bersama keluarga dan kerabat.

Pesan moral yang disampaikan oleh tradisi ketupat Lebaran kepada umat Islam, yang semuanya diyakini sebagai pedoman mulia bagaimana menjadi pribadi yang baik dan berakhlak mulia di kemudian hari.

Orang Jawa memaknai Idul Fitri tanpa ketupat, seperti “sayuran tanpa garam rasanya hambar”. Tradisi Ketupat Lebaran yang sangat baik sudah lama mengakar kuat di benak masyarakat muslim Jawa.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *