Metaranews.co, Hiburan – Flexing atau kegemaran pamer harta atau kemewahan kini mulai merambah menjadi trend baru yang akhir-akhir ini kerap kali diperbincangkan.
Massifnya perkembangan teknologi membuat pamer kemewahan ini sudah tidak dapat dikendalikan lagi, seperti contoh memarkan barang branded di media sosial.
Pro kontra sudah pasti muncul dari trend yang mulai marak menjamur di masyarakat belakangan ini. Khususnya para pejabat, artis maupun Crazy Rich yang nominal uang nya tidak berseri, kerap kali melakukan Flexing.
Kecenderungan untuk pamer kemewahan ini pernah mendapatkan kritikan dari seorang akademisi yakni Ade Armando, kalau itu ia mengomentari gaya hidup artis yang dinilai terlalu memamerkan hartanya di media sosial.
Ia juga menyandingkan pamer harta dari para artis itu dengan kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang masuk dalam kategori masyarakat menengah kebawah. Menurut Ade, melansir akun YouTube Cokro TV, kebiasaan pamer harta itu bisa berdampak buruk di masyarakat.
Terlebih dengan pamer kekayaan yang dilakukan para artis, ditunjang dengan stratifikasi media sosial yang menjadi wadah untuk pamer kekayaan. Tidak dipungkiri, media sosial menjadi salah satu wadah favorit karena ditunjang dengan fasilitas lengkap.
Ade mengatakan, sebaiknya kebiasaan pamer kemewahan ini dihindari, karena bisa menjadi gambaran buruk dan membagi kelas masyarakat. Karena flexing yang dilakukan dipertontonkan didepan jutaan masyarakat Indonesia yang datang dari latar belakang beragam.
Hal itu sangat memungkinkan, karena media sosial kini bisa di akses oleh siapapun. Hanya dengan mempunyai Handphone, dan download Media Sosial, masyarakat dengan penghasilan terbatas pun bisa mengakses pameran kemewahan yang disajikan oleh kaum elit.
Ade melanjutkan, pameran kemewahan yang dilakukan ini juga bisa berdampak buruk para masa depan remaja dan anak muda Indonesia. Mengapa? Jelas saja, karena mereka masih muda, pastinya sangat butuh interaksi sosial, salah satunya lewat media sosial.
Remaja seumuran yang seharusnya masih mencari jati diri itu, jika disajikan tontonan pameran kemewahan, mungkin saja mereka merasa tidak berharga di dunia. Bahaya flexing ini adalah adanya depresi di kalangan mereka yang menjadi penonton.
Karena mereka akan menganggap hidup normal adalah apa yang diperagakan di media sosial. Dan ketika mereka mulai membandingkan dengan kehidupan riil, mereka mungkin akan merasa jika betapa tidak berharganya hidup mereka.
Jauh sebelum itu, trend pamer kemewahan ini sejatinya sudah ada sejak zaman dahulu.
Melansir laman NU, pada masa Nabi Muhammad SAW, para sahabat tabiin dan tabiit tabiin, kejayaan Islam tampak dalam wujud aslinya. Kemuliaan yang sesungguhnya tanpa mengagungkan harta duniawi diraih ketiga generasi ini dengan gemilang di bawah bendera Islam.
Namun, setelah generasi terbaik direduksi, muncul penguasa-penguasa Islam yang dikenal dengan periode raja-raja atau dinasti.
Sejak zaman dinasti Bani Umayyah, pintu kekuasaan dibuka lebar-lebar oleh Allah untuk umat Islam. Karena itu, banyak harta benda dari berbagai daerah yang dikuasai oleh para pemimpin Islam atau raja-raja dinasti.
Selain itu, banyak istana yang dibangun oleh raja-raja dengan tujuan untuk memamerkan kebesaran dan kemegahan kekuasaannya. Sebelum era Umar bin Abdul Aziz, kepemimpinan Dinasti Umayyah sangat giat membangun berbagai bangunan.
Pada awalnya yang dibangun adalah fasilitas umum dan masjid sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat. Setelah itu, dimulailah pembangunan istana-istana yang mewah dan megah sebagai simbol kekuasaan para raja.
Salah satu bangunan tempat tinggal pangeran dari dinasti Bani Umayyah ini bahkan memiliki warna dan kemewahan yang khas. Keberadaan kediaman pangeran sangat eksklusif dan kontras dengan lingkungan sekitarnya.
Orang-orang yang akan bertemu sang pangeran akan diperlihatkan rumah-rumah warna-warni yang memukau mata seperti kisah pengenalan kesturi atau kasturi untuk raja berikut ini.
“Saya diutus ke Sulaiman bin ‘Abdul Malik dan membawa enam wadah kesturi dari Khurasan. Aku melewati rumah Ayyub bin Sulaiman. Saya diterima dan berjalan melewati ruangan yang semua perabotan dan karpetnya berwarna putih. Saya memasuki rumah lain, warnanya kuning dan apa yang ada di dalamnya sama. Saya diterima di rumah merah, dan semua yang ada di dalamnya juga berwarna merah. Kemudian, saya diterima di rumah kaca, dan semuanya berwarna hijau di dalamnya.” As-Suyuthi, Ma Rawahul Waun fi Akhbarit Tha’un, [Damaskus, Darul Qalam], halaman 188).
Kemewahan kehidupan keluarga kerajaan saat itu membuat mereka membangun kastil elite yang penuh warna di tengah padang pasir.
Situasi wabah saat itu membuat keluarga kerajaan mengasingkan diri dan menjauh dari kehidupan rakyatnya dengan harapan terhindar dari wabah, namun tetap menjalani gaya hidup mewah. Kastil gurun selama Dinasti Umayyah dipandang sebagai upaya raja untuk memamerkan kekuasaannya.
Pada masa Umar bin Abdul Aziz, Allah mengembalikan kejayaan Islam seperti generasi terbaik pada masa para sahabat Nabi. Ia menolak tinggal di istana dan bekerja dari rumah sederhana.
Padahal dalam situasi wabah penyakit, umat Islam saat itu sangat sejahtera dan merata. Namun, setelah Umar bin Abdul Aziz wafat, penggantinya juga muncul sebagai penguasa yang menonjolkan kekayaan sebagai bentuk kejayaannya.
Ada catatan lain yang menarik, kemewahan duniawi seperti contoh yang diperoleh Dinasti Bani Umayyah ternyata memang diramalkan oleh Nabi. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dalam hadits marfu’ sebagai berikut :
“Akan dibukakan untukmu tanah non-Arab. Di tanah itu kamu akan menemukan rumah-rumah yang disebut hamamat (pemandian), yang tidak boleh dimasuki laki-laki kecuali dia memakai kain. Wanita dilarang memasukinya, kecuali wanita yang sakit atau melahirkan.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Al-Hammam).
Ramalan Nabi itu terbukti ketika Dinasti Bani Umayyah menguasai Andalusia. Di sana kemudian berkembang istana megah dan pemukiman Muslim dengan pemandian umum yang disebut hammam.
Hammam khusus pria tidak menimbulkan masalah, tetapi keberadaan hammam wanita memunculkan fenomena pelenturan seperti kutipan berikut :
“Diperkirakan 900 pemandian umum, atau hammam, melayani berbagai tempat di Cordoba. Bagi wanita, hammam adalah tempat untuk bertemu teman, bertukar gosip, dan memamerkan pakaian mereka.” (Hamilton, Alhambra, [Kota Dunia Baru: 2019]).
Tidak hanya di Andalusia, keberadaan hammam bagi perempuan yang merupakan alat melenturkan pakaian dan perhiasan juga terjadi di Mesir. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan raja-raja Mesir setelah Dinasti Bani Umayyah.
“Ibnul Hajj mengkritik kunjungan perempuan ke hammam. Dia mengatakan bahwa mereka hanya mengarahkan wanita untuk memamerkan pakaian dan perhiasan mereka. Dia menambahkan bahwa pertemuan wanita seperti itu berbahaya.” (Doris Behreins-Abouseif, Islamic Architecture in Cairo an Introduction, [Mesir, The American University in Cairo Press: 1989], halaman 42).