Sosok Ki Hadjar Dewantara tak dapat dilepaskan dari sejarah Indonesia. Trilogi pendidikannya pun terus dikembangkan sampai sekarang. Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani, menjadi kredo pendidikan nasional. Namun, sebelum RM Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Siswa, ia sempat mempunyai pergolakan batik ketika menyelesaikan Europeesche Akte atau Ilmu Pendidikan dan Pengajaran di Belanda. Hingga akhirnya kepulangannya ke Indonesia pada 1919 dan mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa atau Perguruan Nasional Taman Siswa pada 3 Juli 1922.
Dalam novel sejarah berjudul ‘Tan’ yang ditulis oleh Hendri Teja, ia menceritakan antara Ki Hadjar Dewantara dan Tan Malaka bertemu dalam ketidaksengajaan. Sosok Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara itu diceritakan menghampiri Tan Malaka di kantor pos. Saat itu, Tan sedang berselisih paham dengan polisi Belanda karena wajahnya dicurigai tidak mirip dengan foto kartu pengenalnya. Ki Hajar Dewantaralah yang menjamin Tan Malaka agar bisa mendapatkan uang kiriman dari wesel itu dan mengajak Tan untuk bergabung dalam perhimpunan Hindia di Belanda. Dalam sebuah babak pertemuan kaum pelajar Hindia, sebuah pidato dari Ki Hajar Dewantara sangatlah menggugah pikiran khalayak.
“Mari bersulang untuk Politik Etis,” kata Ki Hajar disambut tepuk tangan riuh. “Ya, tapi kemudian aku berpikir, Tuan-tuan. Aku benar-benar berpikir tentang apa yang selanjutnya akan kita lakukan. Untuk apa pendidikan kita? Untuk apa kita menjadi orang terpelajar? Hanya untuk menjadi sekrup dalam mesin sistem pemerintahan? Tidak mungkin. Mestinya kita juga memiliki hak untuk menyampaikan aspirasi kepada gubermen Hindia. Mestinya di Hindia, di tanah air kita, juga ada dewan rakyat sehingga kita dapat berpartisipasi untuk menentukan perkara-perkara besar bagi Hindia. Zaman berubah, Tuan-tuan, dan perhimpunan kita pun mesti berubah. Sudah saatnya kita bertindak nyata untuk kesejahteraan rakyat Hindia,” sambungnya.
Tak sedikit yang memprotesnya karena dianggap melawan Politik Etis dari Belanda, lalu Ki Hajar menyampaikan bahwa kesadaran ini didapatkannya saat bergabung dengan perhimpunan ini dan bertemu dengan Tan Malaka. Keinginan dua pemuda ini ialah menjadi bagian dari dewan rakyat (volksraad). Tan Malaka pun menyambung Ki Hajar dengan menyampaikan sebuah peribahasa tua.
“Hanya perempuan yang mengerti perempuan. Hanya rakyat Hindia yang paham apa yang mereka inginkan. Dewan Rakyat yang berisi orang Belanda tak akan pernah mengecap kehidupan Hindia hanya omong kosong,” kata Tan.
Hingga akhirnya keduanya tiba membentuk kongres untuk pelajar Hindia, dengan teks berjudul Pelajar Hindia di Netherland, Bersatulah! Cibiran yang dari orang Belanda pun datang bertubi-tubi, namun mereka akhirnya berhasil membentuk Volksraad pada 16 Desember 1916. Sayangnya, saat terwujud itu Tan Malaka telah kembali pulang ke Indonesia untuk bekerja sebagai guru di perkebunan sawit.