Seabad Taman Siswa: Jejak Soewardi Soerjaningrat di Kediri (1)

Salah satu Gedung Perguruan Taman Siswa Kota Kediri (Muklis/Metara)

Metaranews.co, Kediri – Di tengah pergolakan ‘hidup dan matinya’ Sekolah Taman Siswa yang ada di Kota Kediri, Paguyuban Keluarga Besar Taman Siswa (PKBTS) Kediri bersama dengan Pengurus dan para Pamong (guru) mengadakan pameran lukisan yang menampilkan karya Maestro lukis Jogja, Dyan Anggraini. Pameran ini dilakukan untuk re-eksistensi sekolah yang kini hanya dihuni tak sampai 50 murid saja.

Dua ruangan yang tadinya sebuah kelas disulap menjadi ruang pameran. Puluhan foto dan karya seni 3 Dimensi menghiasi setiap sudut ruangan berukuran 15×15 itu.

Bacaan Lainnya

Sang Maestro Lukis, Dyan Anggraini menyebut seluruh karya yang ia tampilkan di Taman Siswa Kediri mengusung tema Neng Ning Nung Nang yang merupakan sebuah ajaran dari RM. Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara.

“Sengaja saya ambil tema itu karena slogan tersebut selaras dengan ajaran Ki Hadjar Dewantara yang sangat kontekstual dengan perkembangan jaman,” ujar Dyan kepada Metara di Taman Siswa Kediri, Minggu (3/7/2022).

Dyan mengatakan, tema besar itu adalah ajaran Ki Hadjar Dewantoro yang masih sangat relefan dengan saat ini. Dan dengan konsep itu sebuah kebijaksanaan akan muncul.

“Filosofinya dalam menghadapi masalah kita tidak bisa grusa-grusu, harus ada proses, salah satunya dengan Neng atau meneng dulu, dengan meneng (diam) ini sebagai sebuah komtemplasi, setelah meneng lalu Ning atau Wening (jernih), lalu setelah jernih kita akan berada di titik Nung atau Anung (teguh) yakin apa yang diperjuangkan akan mencapai sebuah kemenangan atau Nang,” ujar wanita yang sempat menempuh pendidikan SD hingga SMA di Taman Siswa Kediri itu.

Dia juga menyebut, karya yang ditampilkan di Sekolah Taman Siswa Kediri ada sebanyak 22 karya lukis dan 3 karya instalasi. Keseluruhannya ditampilkan di dalam salah dua kelas berbeda.

“Kenapa kelas, ini adalah refleksi pulang ke rumah dan se abad Taman Siswa, karena saya merasa apa yang sudah mendarah daging di tubuh ini dibentuk oleh Taman Siswa, proses pendidikan berlatar belakang budaya saya benar-benar melakoni,” katanya.

Lebih lanjut, Dyan berharap dengan refleksi satu abad ini ia berharap para pengurus, dan para pamong mendapatkan energi posisitif kembali dan dapat membesarkan Taman Siswa.

“Di satu abad ini kami ingin mendapatkan sebuah energi, semangat, dan memiliki energi para pamongnya, siswanya dan masyarakat juga, supaya mereka tersentuh dan lebih maju tidak hanya sekedar romantisme semasa eksis taman siswa ini,” tukasnya.

Sementara itu, Ketua Paguyuban Keluarga Besar Taman Siswa (PKBTS) Kediri, Dipo Sujayantoro menceritakan, Sekolah Taman Siswa Kediri merupakan sekolah tua yang sudah ada sejak zaman penjajahan. Dahulu menurutnya Ki Hadjar Dewantoro pernah singgah dan mengajar di tempat itu selama beberapa bulan.

“Setahu saya kalau tidak salah beliau disini pada tahun 1937, beliau juga sempat memberikan pidato menyampaikan tentang bagaimana seni dan budaya serta pendidikan nasional,” katanya.

“Namun berdasarkan cerita, beliau singgah disini itu tidak lama, hanya hitungan bulan, karena beliau harus mengunjungi beberapa Taman Siswa di daerah lain,” lanjutnya.

Dipo melanjutkan, keberadaan Ki Hadjar di Kediri diperkuat berdasarkan cerita turun temurun dari alumni Taman Siswa Kediri.

“Salah satu muridnya yang tahu Ki Hadjar sempat tinggal disini yakni Pak Tahir Husaini, yang sudah banyak menceritakan tentang Ki Hadjar kepada para putranya dan putranya tadi sempat bercerita tentang itu, putranya yakni Prof Martani Husaini salah satu Dosen Pasca Sarjana di Universitas Indonesia (UI) dimana Prof ini juga sempat mengenyam pendidikan di Taman Siswa Kediri,” katanya.

Sementara itu, untuk melanggengkan sejarah, pengurus sekolah akan membuat museum pendidikan di salah satu gedung Taman Siswa Kediri tepatnya di Kelas Taman Dewasa atau SMP. Dalam upaya itu, terlebih dahulu pihak sekolah akan mendaftarkan gedung tersebut sebagai cagar budaya.

“Gedung ini dibangun 1 Agustus 1932, itu bisa diketahui dari beberapa kayu bertuliskan tahun 1932 yang masih kokoh sebagai atap kelas,” katanya.

Selain berdiri sejak lama dahulu gedung tersebut sempat dipakai untuk berdiskusi para pahlawan dalam proses menyusun penyerangan ke benteng jepang di Jalan Brawijaya.

“Para tokoh pemuda juga sempat ada disini, beberapa pahlawan nasional seperti Mayor Bismo, Raden Raden Abdul Rachim Pratalikrama dan beberapa tokoh lain berada disini menyusun penyerangan ke benteng jepang sebelum kemerdekaan,” tukasnya.(E2)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *