Oleh : Imam Mubarok
Metaranews.co – Di tengah peringatan Hari Buku Dunia, bayang-bayang tentang minat baca yang kian memudar seolah menjadi cermin retak dalam perjalanan literasi bangsa.
Namun dari sudut tenang Kota Kediri, jejak sebuah warisan intelektual tetap menyala, meski mulai redup digerus zaman, Boekhandel Tan Khoen Swie (TKS) namanya.
Dari lantai dasar rumah tua di Jalan Dhoho No 105, dan kemudian dipindah ke lantai, tiga lebih dari 400 judul buku peninggalan Tan Khoen Swie masih terjaga.
Bukan sekadar arsip, buku-buku itu adalah nyawa dari masa ketika literasi menjadi bentuk perlawanan.
Saat bangsa ini belum merdeka, buku-buku terbitan TKS sudah menjadi ‘senjata’ membangkitkan kesadaran – mengenalkan cinta tanah air, nilai-nilai spiritual Timur, dan hak-hak rakyat yang terjajah.
“Sejak ditinggal Michael tahun 1962, toko buku ini mulai tidak terurus, hingga akhirnya benar-benar ditutup setelah ia wafat pada tahun 1993,” kenang Drg Jojo Sutjahjo Gani, cicit Tan Khoen Swie, yang kini merawat sisa-sisa kejayaan penerbit itu.
Tan Khoen Swie, seorang Tionghoa kelahiran Wonogiri, bukan hanya penerbit. Ia adalah pelopor literasi di luar arus besar.
Dengan keberaniannya, ia menerbitkan buku-buku seperti Atoeran dari Hal Melakoeken Hak Perkoempoelan dan Persidangan Dalem Hindia-Nederland (1932), dan Tjinta Kebaktian pada Tanah Air (1941), yang di masa kolonial adalah bacaan yang mengandung semangat kebangsaan.
Tak hanya buku politik atau hukum, TKS juga menerbitkan karya-karya yang merakyat: primbon, filsafat Timur, hingga ramalan mimpi.
Judul-judul seperti Alamat Ngimpi dan Artinja, Kitab Achli Noedjoem, atau Kitab Rama Krisna, menjadi teman setia masyarakat masa lalu, yang kala itu belum punya akses mudah pada pendidikan formal.
Kini, di era serba digital, ketika layar lebih menarik dari lembaran buku, warisan semacam ini terasa semakin jauh dari jangkauan generasi muda. Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam hal literasi.
Data PISA dan UNESCO menunjukkan bahwa minat baca kita berada di peringkat bawah dunia – sebuah ironi di tengah riuhnya peringatan Hari Buku Dunia.
Apakah semangat Tan Khoen Swie masih bisa menjadi inspirasi?
Mungkin sudah saatnya kita berhenti sekadar merayakan hari buku dengan seremoni, dan mulai membuka kembali lembaran-lembaran berdebu itu.
Karena sebagaimana yang ditunjukkan oleh Tan Khoen Swie, buku bukan hanya benda, tapi alat untuk mencerdaskan, membebaskan, dan membentuk peradaban.
Dan dari Kota Kediri, lebih dari seabad lalu, seorang pria bertubuh kecil dengan idealisme besar telah membuktikannya.