Sepakbola dan Propaganda Politik, Ketika Dua Jalur Jadi Satu

Sepakbola
Ilustrasi menonton pertandingan sepakbola. (pexels)

Metaranews.co, Hiburan – Sepakbola merupakan olahraga yang banyak diminati di seluruh belahan dunia. Siapa saat ini yang tidak senang dengan olahraga ini.

Modern sekarang, sepakbola bukan hanya sekedar olahraga lari dan menendang bola semata. Melainkan sudah menjadi bisnis paling menjanjikan di seluruh dunia.

Bacaan Lainnya

Lihat saja bagaimana Manchester City berkembang dari klub semenjana, kini berputar 180 derajat menjadi konsorsium bisnis yang menguntungkan.

Sepakbola
Ilustrasi menonton pertandingan sepakbola. (pexels)

Usai diambil alih pebisnis timur tengah, City kini mempunyai jejaring bisnis di seluruh dunia dalam hal strategi bisnis Sepakbola. Begitupun dengan PSG, klub Perancis nihil prestasi sebelum dipegang konsorsium Qatar. Kini menapaki puncak kesuksesan di Liga beberapa tahun silam.

Banyak lagi contoh yang bisa diulas, karena Sepakbola hari ini, merupakan bisnis yang menjanjikan. Selain jadi lahan bisnis, Sepakbola juga terkadang bisa menjadi alat politik sebagian kalangan untuk menyampaikan pendapat.

Atau bisa saja menjadi sebuah polemik yang pelik. Contoh yang baru terjadi, yaitu di black liatnya Rusia dari setiap event FIFA karena invasinya ke Ukraina, serta pembatalan Piala Dunia U-20 di Indonesia yang disebut, batal karena agenda politik beberapa pihak.

Sepakbola sejatinya tidak bisa lepas dengan Politik, meskipun narasi ini juga masih pro kontra di berbagai kalangan. Namun, pengaruh Sepakbola dalam politik ataupun sebaliknya tak bisa dipandang sebelah mata.

Beberapa tokoh dunia juga menjadikan Sepakbola sebagai jalan untuk kemajuan bangsa. Misalnya, Angela Merkel, pemimpin Eropa sekaligus ilmuwan eksak, sangat menyukai sepak bola.

Melansir Nationalgeographic.grid.id, nama Ir. Soekarno yang juga berperan sebagai pemimpin Indonesia sangat mendukung kemajuan sepakbola Indonesia. Ada kutipan menarik, bahwa seorang pemimpin adalah pemain ke-12 di lapangan.

Kehadirannya mampu mengobarkan semangat timnya yang sedang bertanding.  Aksi setiap pemain akan dilihat oleh para pemimpin negara, itu adalah salah satu momentum dimana pemain harus mengeluarkan seluruh kemampuannya di atas rumput hijau.

Di Indonesia sendiri, Sepakbola juga menjadi jalan politik bagi para pemimpin kala itu, seperti Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno.

Rojil Nugroho Bayu Aji dalam tulisannya di jurnal yang diterbitkan di Researchgate berjudul ‘Politik Olahraga Soekarno : Menata Indonesia Melalui Sepak Bola dan Bulu Tangkis’ Publikasi 2018. Tulisannya mencoba menceritakan pendapat Soekarno melihat sepak bola dari balik kaca mata.

Soekarno melihat bahwa olahragawan merupakan wakil bangsa dan negara dalam sebuah ajang dan pertandingan olahraga.

“Setelah Indonesia dikeluarkan dari keanggotaan Komite Olimpiade Internasional, dia menyatakan semakin keras bahwa bahasa olahraga tidak dapat dipisahkan dari politik,” tulisnya.

Sepak bola resmi dibiayai oleh negara sebagai sarana untuk mengharumkan nama bangsa dan negara Indonesia di kompetisi internasional.

“Bagi Sukarno, sepak bola adalah alat perjuangan,” tambahnya. Baginya, sepak bola bisa menunjukkan eksistensi kebangsaan dan kenegaraan secara global.

Indonesia mengikutsertakan timnas sepak bola di Asian Games untuk pertama kalinya dengan membentuk timnas pertama setelah era kemerdekaan. PSSI membentuk tim nasional untuk Asian Games I, di New Delhi berdasarkan keputusan kongres PSSI tahun 1950 di Semarang.

“Secara langsung sepak bola memiliki misi diplomasi untuk membudayakan sepak bola Indonesia seperti apa, sekaligus sebagai ajang promosi resmi Indonesia yang selalu mendapat dukungan negara,” imbuhnya.

Hal itu juga tertulis dalam buku Maulwi Saelan berjudul Sepak Bola Jilid 1 terbitan 1970. Ia memaparkan persepsi Soekarno tentang sepak bola.

“Sebelum pertandingan dimulai, dalam sepak bola ada upacara berupa pemutaran dan nyanyian lagu kebangsaan saat kedua timnas akan bertanding,” tulisnya.

Maulwi Saelan menambahkan dalam tulisannya, ‘Beliau (Soekarno) memfasilitasi berbagai kebutuhan dalam sepak bola nasional, mulai dari infrastruktur hingga pendanaan, yang semuanya dikeluarkan untuk menciptakan gelora nasionalisme melalui sepak bola’.

Demi mewujudkan cita-citanya, ia kemudian memprakarsai berdirinya stadion megah, Gelora Bung Karno pada 21 Juli 1962.

Soekarno dan PSSI sudah mencoba mengirim. Sejumlah atlet ke berbagai event internasional.

“Para pemain dan ofisial sangat bangga dengan prestasi mereka, tampil sebagai bagian dari sepak bola internasional, membawa lambang Garuda di dada mereka,” tulis Maulwi.

Apresiasi yang diperoleh atlet merupakan bagian dari penghargaan dan rasa bangga terhadap bangsa dan negara. Maulwi menegaskan,

“Saat pertama kali mengikuti Olimpiade Helsinski 1952, timnas sepak bola Indonesia tidak lolos kualifikasi sehingga tidak ikut berlaga di Olimpiade. Baru pada Olimpiade Melbourne 1956 Indonesia lolos,” ungkapnya.

Alat politik Soekarno yang disebut sepak bola, sejatinya telah membawa Indonesia mulai dikenal dunia internasional. Meskipun tak memeroleh sejumlah prestasi.

Namun memori dan pengalaman berharga untuk tampil membela Sang Garuda di kancah internasional, menjadi kebanggan tersendiri bagi setiap atlit Momentum sepak bola, tak lepas dari sosok tokoh dunia yang turut menyaksikan tim kesayangannya, di tribun stadion.

Misalnya, Angela Merkel, pemimpin Eropa sekaligus ilmuwan eksak, sangat menyukai sepak bola. Tak hanya itu, nama Ir. Soekarno yang juga berperan sebagai pemimpin Indonesia sangat mendukung kemajuan sepakbola Indonesia.

Ada kutipan menarik, bahwa seorang pemimpin adalah pemain ke-12 di lapangan. Kehadirannya mampu mengobarkan semangat timnya yang sedang bertanding.

Aksi setiap pemain akan dilihat oleh para pemimpin negara, itu adalah salah satu momentum dimana pemain harus mengeluarkan seluruh kemampuannya di atas rumput hijau.

Soekarno dan PSSI sudah mencoba mengirim. Sejumlah atlet ke berbagai event internasional.

“Para pemain dan ofisial sangat bangga dengan prestasi mereka, tampil sebagai bagian dari sepak bola internasional, membawa lambang Garuda di dada mereka,” tulis Maulwi.

Apresiasi yang diperoleh atlet merupakan bagian dari penghargaan dan rasa bangga terhadap bangsa dan negara.

Maulwi menegaskan, “Saat pertama kali mengikuti Olimpiade Helsinski 1952, timnas sepak bola Indonesia tidak lolos kualifikasi sehingga tidak ikut berlaga di Olimpiade. Baru pada Olimpiade Melbourne 1956 Indonesia lolos”.

Alat politik Soekarno yang bernama sepak bola, justru membawa Indonesia dikenal di dunia internasional. Meski tak menorehkan sejumlah prestasi, kenangan dan pengalaman berharga tampil membela Garuda di pentas internasional menjadi kebanggaan tersendiri bagi setiap atlet.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *