Metaranews.co, Jawa Timur – Tepat hari ini 14 Februari, 77 tahun silam tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang dipimpin Shodanco Soeprijadi melakukan pemberontakan di Blitar. Peristiwa ini merupakan salah satu momen penting dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah.
PETA sendiri adalah organisasi pelatihan militer yang didirikan oleh Jepang pada tahun 1943 untuk mendukung upaya perang mereka melakukan perlawanan dalam perang dunia ke 2.
Jepang merekrut pemuda Indonesia untuk menjadi Pasukan PETA dan memberi mereka pelatihan dan pendidikan militer dalam budaya dan bahasa Jepang. Sebagai gantinya, Jepang menjanjikan Indonesia kemerdekaan setelah perang.
Dalam Ensiklopedi Pendudukan Jepang di Indonesia karya Nino Oktorino menyebutkan, pemberontakan di Blitar terjadi salah satunya karena Shodanco Soeprijadi merasa prihatin pada nasib rakyat Indonesia, khususnya di Blitar, Jawa Timur yang hidup sengsara dibawah kekuasaan Kekaisaran Jepang selama Perang Dunia II.
Penderitaan yang dialami oleh rakyat pribumi dikarenakan Kekaisaran Jepang menerapkan kebijakan yang sangat brutal, seperti kerja paksa (romusha), perampasan hasil pertanian, dan perlakuan rasial seperti halnya kekuasaan fasisme di Eropa, perlakuan rasis tersebut juga dialami oleh tentara pemberontak yang notabene adalah bentukan Jepang.
Berdasarkan hal-hal itulah, Soeprijadi kemudian mengkonsolidasikan pasukannya untuk melakukan pemberontakan melawan Tentara Kekaisaran Jepang.
Pada tanggal 14 Februari 1945, para anggota PETA di Blitar melakukan pemberontakan terhadap tentara Jepang mereka berhasil membunuh sejumlah tentara Jepang dan berhasil melarikan diri dengan membawa banyak perlengkapan dan logistik Jepang, seperti senjata Arisaka dan senapan mesin Type 99.
Sayangnya perlawanan itu tidak bertahan lama, Jepang akhirnya membentuk Pasukan Pembela Jepang dari pasukan yang masih setia terhadap kekaisaran sebagai alat kontrol politik dan propaganda, dan mereka mengambil tindakan keras terhadap para pemberontak PETA dan menangkap puluhan tentara PETA pemberontak.
Tentara PETA yang ditangkap kemudian diadili di Jakarta, pusat komando pemerintahan pendudukan Kekaisaran Jepang di Indonesia. Sebanyak 68 orang anggota PETA yang memberontak berhasil ditangkap – 8 orang dihukum mati, 2 orang dibebaskan.
Meskipun pemberontakan itu gagal, perjuangan tetap menjadi momen penting dalam sejarah perjuangan Indonesia melawan penjajah. Pemberontakan itu menunjukkan tekad dan semangat juang para anggota PETA dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, organisasi PETA dibubarkan, tetapi semangat dan dedikasi para anggotanya tetap hidup dalam ingatan rakyat Indonesia.
Soeprijadi dan Pikiran Perlawanan Terhadap Jepang
Sosok Shodanco Soeprijadi diketahui telah aktif bertukar pikiran dengan berbagai tokoh penting tentang kemerdekaan Indonesia. Hal ini terungkap dari buku-buku sejarah yang mengupas sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaannya dari penjajahan.
Menurut buku “PETA: Sejarah dan Perjuangan” yang ditulis oleh Darsa Wiryatama, Soeprijadi adalah salah satu perwira PETA yang aktif bertukar pikiran dengan para tokoh nasionalis Indonesia. Dalam buku tersebut, disebutkan bahwa Soeprijadi pernah bertemu dengan tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir untuk membahas perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Selain itu, dalam buku “Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia” karya M.C. Ricklefs, disebutkan bahwa Soeprijadi juga sering bertukar pikiran dengan tokoh nasionalis Indonesia lainnya, seperti Amir Sjarifuddin dan Tan Malaka. Mereka membahas berbagai strategi untuk mempercepat kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda dan Jepang.
Namun, setelah pemberontakan yang dipimpin Soeprijadi gagal di Blitar pada 14 Februari 1945, ia menghilang dan nasibnya masih menjadi misteri hingga hari ini. Banyak spekulasi dan dugaan tentang kemungkinan nasib Soeprijadi, namun tidak ada yang dapat dipastikan dengan pasti.
Meskipun demikian, semangat perjuangan Soeprijadi dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan kerja kerasnya dalam bertukar pikiran dengan para tokoh nasionalis Indonesia tetap diingat dan dihargai hingga saat ini.
Hilangnya Soeprijadi: Misteri Seorang Perwira Tinggi PETA
Soeprijadi adalah salah satu perwira tinggi dalam PETA (Pembela Tanah Air), organisasi militer yang didirikan oleh tentara Jepang selama pendudukan Jepang di Indonesia. Sebagai seorang pemimpin di dalam PETA, Soeprijadi dianggap sebagai salah satu yang terbaik, tetapi ia hilang tanpa jejak pada tahun 1945. Hilangnya Soeprijadi masih menjadi misteri hingga hari ini.
Soeprijadi lahir di Magelang, Jawa Tengah, pada tanggal 19 Agustus 1919. Ia bergabung dengan PETA pada tahun 1943 dan lulus dari sekolah pelatihan PETA pada tahun 1944 dengan pangkat letnan dua. Setelah lulus, ia ditugaskan ke markas PETA di Purwokerto, Jawa Tengah.
Pada tanggal 14 Februari 1945, terjadi pemberontakan PETA di Blitar, Jawa Timur. Soeprijadi diperintahkan oleh pimpinan PETA untuk bergabung dengan kelompok pemberontak di Blitar. Namun, setelah itu, Soeprijadi menghilang dan tidak pernah terlihat lagi.
Hilangnya Soeprijadi memicu banyak spekulasi dan teori konspirasi. Menurut buku “Bersaksi di Depan Matahari Terbit” karya Agus Dermawan T, beberapa orang berpendapat bahwa Soeprijadi telah bergabung dengan gerakan perlawanan Indonesia dan mengubah identitasnya. Namun, teori ini tidak pernah terbukti.
Buku “Jejak Langkah Soeprijadi” karya D.N. Aidit, seorang tokoh komunis Indonesia, memberikan gambaran yang berbeda. Menurut Aidit, Soeprijadi diculik oleh tentara Jepang dan kemungkinan besar telah dibunuh. Teori ini diperkuat oleh catatan sejarah bahwa Jepang membentuk Pasukan Pembela Jepang (PETA) sebagai alat kontrol politik dan propaganda, dan mereka mengambil tindakan keras terhadap pemberontakan PETA.
Buku “Sejarah Kecil Pemberontakan PETA” karya Kusnanto Anggoro mengatakan bahwa hilangnya Soeprijadi masih menjadi misteri yang belum terpecahkan hingga saat ini. Anggoro juga mencatat bahwa keberadaan Soeprijadi tidak tercatat di bawah pemerintahan Jepang atau Indonesia pasca-kemerdekaan.
Meskipun hilangnya Soeprijadi masih menjadi misteri, ia tetap dianggap sebagai salah satu perwira PETA yang paling berbakat dan berdedikasi. Kepiawaiannya dalam merencanakan strategi perang diakui oleh banyak orang. Pada tahun 1980-an, pemerintah Indonesia menetapkan Soeprijadi sebagai pahlawan nasional.