AJI Kediri Gelar Webinar Minsinformasi Perubahan Iklim dan Bencana Hidrometeorologi

Metaranews.co, Kediri – Akibat perubahan iklim, terjadi pemanasan global. Suhu udara diprediksi terus bertambah hingga 1,5 derajat celsius pada 2030. Kondisi yang juga memicu bencana hidrometeorologi. Ironisnya, tidak sedikit masyarakat Indonesia menyebut perubahan iklim ialah sebuah informasi hoaks. Akibatnya, peran untuk turut memitigasi ataupun beradaptasi terhadap perubahan sangat minim.

Untuk mengedukasi publik tentang perubahan iklim, AJI Kediri dan Google News Initiative menggelar Webinar “Menangkal Minsinformasi Perubahan Iklim dan Bencana Hidrometeorologi”, pada Kamis (21/4) via zoom meeting dan live di kanal Youtube AJI Indonesia.

Bacaan Lainnya

Ada empat narasumber yang diundang daring untuk mengisi acara tersebut. Yakni, Pengamat Meteorologi dan Geofisika (PMG) Muda BMKG Klimatologi Malang Meilani, Diana Dewi Damayanti Co-Founder Masyarakat Tangguh Indonesia (MTI), Sudarmanto Sekjen Forum Pengurangan Resiko Bencana (FPRB) Jatim dan Destyan H Sujarwanto jurnalis LKBN Antara.

Dalam paparannya, Meilani, prakirawan Meteorologi dan Geofisika (PMG) Muda BMKG Klimatologi Malang  mengatakan, perubahan iklim bisa langsung maupun tidak langsung oleh aktivitas manusia yag mengakibatkan perubahan atmosfer secara global.

“Tapi ada persepsi lain dari masyarakat, perubahan iklim ialah ketidakteraturan musim,” terang Meilani.

Perubahan iklim, menurut Meilani, dipengaruhi sejumlah faktor. Faktor alam, seperti letusan gunung berapi. Namun, yang dominan adalah ulah manusia. Seperti peternakan yang menghasilkan gas metan, asap pabrik serta penggundulan hutan yang mencapai sepertiga dari permukaan bumi.

“Padahal, hutan berfungsi untuk menyerap karbon dioksida yang akhirnya mencegahnya untuk terperangkap di atmosfer, pengatur siklus air, mengurangi risiko banjir dan longsor,” katanya.

Kondisi ini, lanjut Meilani, mengakibatkan gas rumah kaca yang mengakibatkan perubahan energi pada atmosfer sehingga terjadi pemanasan global berdampak pada perubahan siklus air, sehingga terjadilah perubahan iklim.

Menurut Meilani, kenaikan suhu rata-rata udara di dekat permukaan bumi dan lautan yang terjadi sejak pertengahan abad ke-19 dan diproyeksikan terus berlangsung.
Berdasarkan laporan kajian ke-empat dari IPCC tahun 2007, suhu permukaan global meningkat sebesar 0,32  – 0,74 °C selama abad ke-20.

Sebagai upaya sosialisasi, kata Meilani, informasi yg diperoleh BMKG selalu didesiminasi baik melalui website ataupun radio, aplikasi dan media sosial dan salah satu. Selain itu, lanjut dia, BMKG berupaya melakukan edukasi pada masyarakat dengan mengadakan Sekolah Lapang Iklim yang melibatkan kelompok tani di beberapa kota, di antaranya; Jombang, Nganjuk dan Malang.

Perubahan iklim ini secara simultan ternyata berhubungan dengan perubahan perilaku manusia. Diana Dewi, Co-Founder Masyarakat Tangguh Indonesia (MTI) menyampaikan, menyampaikan hasil penelitian International Public Opinion on Climate Change yang menyebutkan 78 persen warga Indonesia mengakui adanya perubahan iklim. Selain itu, hanya 16 persen responden yang mengakui manusia sebagai penyebab perubahan iklim. “Persentase ini yang terendah dibanding 31 negara,” ujarnya.

Maka ada hal yang sangat perlu dilakukan oleh setiap individu maupun komunitas karena tantangan perubahan iklim ini. Ia berharap ada upaya mengolah informasi menjadi komunikasi.

Bagaimana caranya? Dia menjelaskan bahwa bisa dimulai bercakap-cakap tentang keberhasilan masyarakat yang beradaptasi dengan perubahan iklim. Bahkan, bisa berkomunikasi tentang teknologi terbaru untuk menghadapi perubahan iklim. Yang tidak kalah penting, imbuh Diana, setiap individu bisa menjadi contoh gerakan untuk menyadarkan masyarakat tentang hubungan perubahan iklim dan perilaku.

“Saya sudah beberapa tahun tidak menggunakan plastik atau kresek lagi kalau ke pasar, jadi lama-lama pedagang hafal dengan kita. Sambil menunggu perda tentang penggunaan sampah plastik,” terangnya.

Sementara, Sekjen FPRB Jatim Sudarmanto menyambung dengan bagaimana tantangan di lapangan dalam membangun jejaring mitigasi bencana. Mitigasi, menurut mbah Darmo, perlu dilakukan untuk mengantisipasi bencana berikutnya. “Upaya mitigasi itu kompleks, saling tergantung dan melibatkan banyak pihak,” ujarnya.

Pria yang akrab dipanggil Mbah Darmo ini juga memberikan pengalamannya ketika dalam mitigasi bencana masyarakat lereng Gunung Kelud di Kabupaten Kediri, Blitar, dan Malang.

Mbah Darmo menyampaikan empat aspek penting untuk mengantisipasi bencana, antara lain; komunikasi, informasi, kerja sama dan koordinasi. “Empat aspek ini merupakan kunci sukses penanganan bencana terutama untuk penanganan korban dan meghindari resiko lebih lanjut,” tambah Mbah Darmo.

Dalam manajemen informasi bencana, lanjut Mbah Darmo, informasi yang disampaikan harus akurat, tepat waktu, dapat dipercaya dan mudah dikomunikasikan.

Dari mitigasi bencana letusan gunung Kelud, bisa dipetik sebuah pelajaran yakni adanya sistem informasi dan komunikasi yang lebih pendek membuat peringatan dini berjalan lebih cepat dan tepat.

“Hasilnya membuat masyarakat dapat menerima informasi peringatan lebih cepat. Efektifitasnya terbukti, karena peristiwa erupsi Gunung Kelud 2014 tidak menimbulkan korban jiwa,” ujarnya

Di sisi lain, jurnalis LKBN Antara Destyan Sujarwoko memberikan pandangan tentang isu iklim di kalangan jurnalis. Ia memaparkan bahwa isu iklim merupakan isu yang sangat bagus.

Dikarenakan, pemberitaan terhadap iklim diharapkan bisa menjadi edukasi untuk publik, seperti kelompok masyarakat petani dan nelayan. Sehingga, mereka dapat beradaptasi dan bahkan memprediksi iklim yang akan terjadi.

“Persepsi media tentang perubahan iklim karena hampir seluruhnya menjadikan berita bencana hidrometeorologi ini sebagai headline, tetapi sedikit yang menyandingkannya langsung dengan isu perubahan iklim, seolah-olah peristiwa-peristiwa ini muncul begitu saja karena musim berubah,” papar Destyan.

Oleh sebab itulah, peran media untuk menjadi penyambung lidah antara pihak yang berkompenten di bidang hidrometeorologi dengan masyarakat luas sangat penting.

“Setiap orang perlu mengetahui lebih banyak tentang perubahan iklim. Oleh karenanya, cara media meliputnya akan mempengaruhi kemampuan masyarakat dalam menghadapi masalah tersebut,” pungkas Destyan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *