Metaranews.co, News – Resesi seks saat ini menjadi fenomena yang problematik di kawasan benua Asia. Bahkan, sudah mulai merambah Asia Tenggara.
Fenomena ini sudah mulai muncul di Singapura, negara tetangga Indonesia yang juga bagian dari kawasan Asia Tenggara.
Angka fertilitas berbeda dengan angka kelahiran. Pengertian angka fertilitas adalah jumlah anak yang dimiliki seorang perempuan di suatu wilayah.
Cara menghitung angka fertilitas adalah dengan membagi jumlah kelahiran dengan jumlah penduduk wanita di suatu wilayah.
Di Singapura, tingkat kesuburan telah jatuh ke titik terendah sepanjang masa. Tingkat kesuburan Singapura untuk tahun 2022 adalah 1,05. Angka ini lebih rendah dari rekor terendah sebelumnya sebesar 1,1 pada tahun 2020.
“Salah satu penyebabnya adalah tahun Macan dalam kalender lunar, yang umumnya dikaitkan dengan tingkat kelahiran yang lebih rendah di kalangan [etnis] Tionghoa,” kata Menteri Kantor Perdana Menteri Singapura, Indranee Rajah seperti dikutip Channel News Asia, Rabu (26/4/2023)
Indranee melanjutkan, angka kelahiran Singapura mengalami penurunan selama bertahun-tahun, seperti negara maju lainnya. Tingkat kesuburan Singapura secara konsisten berada di bawah 1,2 sejak 2017.
Negara dengan tingkat kesuburan terendah saat ini adalah Korea Selatan, yaitu 0,78. Dirinya melanjutkan, semakin banyak warga Singapura yang menikah di usia tua.
Selain itu, semakin banyak juga pasangan suami istri yang memutuskan untuk menunda memiliki anak atau memiliki anak yang lebih sedikit.
Harapan hidup orang Singapura sekarang adalah 83 tahun, dibandingkan dengan 72 tahun pada tahun 1980. Sekitar 1 dari 4 orang Singapura akan berusia 65 tahun atau lebih pada tahun 2030.
Sedangkan pada tahun 2010 yang juga merupakan tahun Macan, tingkat kesuburan total adalah 1,15. Angka ini lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya dan tahun setelahnya.
Perubahan kondisi masyarakat ini, menurut Indranee, akan mempersulit upaya Singapura untuk menjaga laju pertumbuhan ekonomi.
Bagiamana dengan Indonesia?
Melansir CNN, menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), menilai resesi seks tidak akan terjadi di Indonesia.
Alasannya, karena hampir semua keluarga fokus untuk prokreasi, atau menghasilkan keturunan.
“Orang yang ingin berkeluarga di Indonesia cenderung prokreatif atau punya anak. Itu hampir 99 persen, coba tanya pasangan usia subur atau orang yang baru menikah, tujuannya pasti prokreasi,” ucap Kepala BKKBN Hasto Wardoyo.
Ia melanjutkan, selain itu, juga ada faktor lainnya seperti kultur sosial budaya yang kuat.
Keberadaan adat, budaya dan agama yang dianut kuat di masyarakat telah mempengaruhi tujuan keluarga untuk berumah tangga atau menjalin hubungan suami istri untuk menghasilkan keturunan.
”Makanya dalam satu tahun hampir 4,8 juta lahir. Sejauh ini pengertian resesi seks jika diterjemahkan sebagai penurunan atau tidak ingin punya anak, kita masih jauh,” ujarnya.
Hal itu juga diperjelas oleh Presiden Jokowi yang menegaskan tidak ada resesi jenis kelamin di Indonesia, mengingat angka kelahiran saat ini 2,1 persen anak per perempuan.
Pasalnya, jumlah orang yang menikah dan hamil di Indonesia masih tergolong tinggi.
“Saya senang karena pertumbuhan kita di 2,1 TFR (Total Fertility Rate) dan ada 2 juta orang yang menikah dan akumulasi ibu hamil dari pasangan usia subur adalah 4,8 juta, jadi masih bagus.” kata Jokowi dalam Rapat Kerja Nasional BKKBN, Rabu (25/1/2023) lalu.
Sebagai informasi, resesi seks ditandai dengan menurunnya angka kelahiran, hal ini karena masyarakat enggan menikah, berhubungan seks, dan memiliki anak.
Dampaknya dapat mengancam masa depan suatu bangsa, terutama usia produktif yang bersekolah dan mengakibatkan banyak sekolah yang ditutup karena tidak ada siswanya.