Laku Prihatin untuk Menemukan Kebahagiaan Sejati

Seorang santri lansia sedang menjemur pakaian di Pondok Pesantren Roudlotul Ulum, Kencong, Kepung, Kediri (Muklis/Metara)

Metaranews.co, Kediri – Siang itu suasana terik menyelimuti kedatangan Metara di Pondok Pesantren Roudlotul Ulum, Kencong, Kepung, Kediri. Usai berkeliling bersama salah satu pengurus pesantren, langkah kaki terhenti di sebuah kamar berukuran 4X4 meter. 

Sebuah tikar sederhana lengkap dengan bantal kusam menyambut kami. Sosok tua tidur di atasnya. “Tak kiro putuku mas (Saya kira cucu saya mas),” katanya seketika terkaget dan menoleh ke arah kami yang baru datang. 

Bacaan Lainnya

Namanya Mbah Widji, seorang Kakek berusia 77 tahun asal Tarokan, Kabupaten Kediri. Sudah 5 Ramadan ini ia mengikuti Program Pesantren Lansia di Pondok Pesantren Roudlotul Ulum. 

Baginya, bermukim di Pondok Kencong ini adalah pengalaman yang sangat berharga di usianya yang sudah tua ini. Meskipun secara kasat mata kehidupan di pesantren tidak semudah seperti di rumah. Ditambah banyaknya aktivitas yang baginya kadang melelahkan. 

“Urip sejatine mboten namung tenang teng griyo, gih kadangkolo kedah prihatin, nopo maleh sing sampun tuwek kados kulo niki, (Hidup itu memang seharusnya tidak hanya enak-enak di rumah, namun terkadang memang harus merasa prihatin, apalagi sudah tua seperti saya,” ucap Mbah Widji sambil menyodorkan senyum. 

Katanya, laku prihatin di pondok melatih diri untuk senantiasa mendekati sang pencipta. Di usianya yang sekarang sudah tidak ada cita-cita untuk mengejar dunia. Jalan menuju sang pencipta menjadi pilihan mutlak dan sebuah hal yang menurutnya wajib dicapai. 

Baca juga: Menilik Pesantren Lansia di Kencong, Rumah Para Pencari Hakikat

“Mau apalagi, kita ini tinggal menunggu mati, sudah tua, masak masih banyak cita-cita yang sama seperti yang muda-muda. Wes ndak pantes (Sudah tidak pantas),” lanjutnya. 

“Mau kita sekarang cuma mati dengan enak, nyaman, tenang dan legowo (lapang dada) dan ikhlas. Yang lebih pengting tetap di jalan menuju allah,” tuturnya sembari pamitan hendak melakukan salat dzuhur berjamaah di Masjid Pondok. 

Sama halnya dengan Mbah Widji, Mbah Waginah, nenek berusia 73 tahun itu mengaku sangat senang mengikuti Program Pesantren Lansia ini. Selama ini ia sudah mengikuti program pesantren kilat untuk lansia setidaknya 12 kali dalam 12 tahun belakangan.

“Pun sepuh pados nopo maleh nek mboten pados barokah, (Sudah tua ini cari apalagi kalau bukan cari keberkahan,” katanya.

Mbah Waginah juga menyebut, meski mondok ia masih tetap tenang, sebab anak dan cucunya masih sering mengunjunginya di pesantren. Dan itu menjadi sebuah kebahagiaan tak ternilai baginya.

Semasa di pondok ini, ia mengaku banyak berdoa untuk seluruh keluarganya baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Hampir seluruh doanya agar supaya keluarga diberi keberkahan di dunia dan selamat di akhirat.

“Doa saya agar anak dan cucu bisa sejahtera dan sehat serta berkah hidupnya, berkah mondoknya. Kalau untuk diri sendiri, saya cuma ingin berdoa semoga saya bisa menjadi lebih baik, yang terpenting saat ditanya di alam sana nanti saya bisa menjawab,” tukasnya.

Sementara itu, Sofwan salah satu panitia program Pesantren Lansia ini mengaku, tak sedikit dari para santri ini yang merasa sangat tenang dan khusyu saat berada di pondok. Bahkan tak sedikit juga yang berharap bisa meninggal di pondok.

“Setahu saya sudah ada beberapa kali yang meninggal di pondok, biasanya mereka betah disini dan akhirnya membeli sebidang tanah disini, sakit disini dan akhirnya meninggal juga disini,” tuturnya.

“Dan meraka yang meninggal disini alhamdulillah diberi kemudahan, saat sakaratul maut, dan wajahnya seperti sudah sangat ikhlas meninggalkan keluarga di dunia,” tukasnya.(E2)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *