Merdeka Belajar dengan Olahraga Informal

metaranews.co
Direktur Sekolah Pascasarjana IKIP Budi Utomo Malang, Dr. Sakban Rosidi bersama sivitas akademi.

Metaranews.co, Malang- Program orientasi mahasiswa baru pascasarjana IKIP Budi Utomo Malang berasa agak berbeda kali ini. Menyambut Hari Batik Nasional pada 2 Oktober 2022, semua hadirin tampak berbuasana batik atau tenun bernuansa etnik. Suasana yang biasanya ceria, menjadi berduka karena tragedi kanjuruhan. Ada kesepakatan tak terkatakan, komunitas pendidikan dan olahraga perlu merenungi kembali secara serius strategi dan arah Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan (PJOK).

Duka-cita memang tampak jelas di kalangan sivitas kampus pilihan para atlet profesional ini. Official Socmed IKIP Budi Utomo juga menayangkan ucapan duka cita Rektor Assoc.Prof. Dr. Nurcholis Sunuyeko, M.Si. “Duka Aremania, Duka Kita Semua!” tulisnya. Pun ungkapan belasungkawa, tak lupa disampaikan oleh Dr Agung Yudha Aswara MPd, selaku pembawa acara. “Saya berharap persoalan juga dibahas dalam kuliah umum awal semester kali ini, karena tidak hanya relevan tetapi juga menjadi concern atau keprihatinan kita bersama”, katanya. “Sebelum itu, kita punya kesempatan saling mengenal baik dengan sesama mahasiswa dan dosen, maupun mengenal kebijakan, kurikulum dan tradisi akademik program studi MPO”.

Bacaan Lainnya

Ada yang menarik saat sesi saling mengenal berlangsung. Beberapa mahasiswa baru ternyata bukan sarjana PJKR atau guru PJOK. Ada atlit profesional, ada mantan atlit berprestasi, ada profesional kegawat-daruratan, tetapi juga ada sarjana hukum dan bahkan sarjana sastra. “Saya tidak mau setengah-setengah menjadi guru pendidikan jasmani”, kata perempuan sarjana hukum. “Saya ingin menjadi coach bagi putra saya sendiri”, kata perempuan sarjana sastra. “Semuanya bermotivasi bagus. Tapi yang motivasinya menjadi coach bagi putranya sendiri adalah yang dijamin paling ikhlas”, komentar Kaprodi MPO Dr Adi Sucipto M.Kes.

Serba ringkas, orientasi studi disajikan berkenaan beban studi dan kurikulum, peminatan kegawat-daruratan dan kewirausahaan olahraga, serta kesiapan dan persyaratan mengikuti perkuliahan hibrida (hybrid learning). “Perkuliahan hibrida bukan sekadar pembelajaran campuran (blended learning), tetapi pemilihan dan pemaduan keunggulan dari dua atau lebih moda pembelajaran. Moda daring unggul dalam efisiensi sumberdaya, terbatas dalam pencapaian tujuan motorik. Moda luring, unggul dalam pencapaian tujuan motorik, baik psikomotorik maupun fisiomotorik. Tetapi jelas tidak efisien untuk ranah kognitif,” jelas Direktur Sekolah Pascasarjana Dr Sakban Rosidi M.Si.

Sesi kuliah umum awal semester, sebagai tradisi akademik Pascasarjana IBU, diberikan langsung oleh Dr Sakban Rosidi M.Si. Bertopik Emancipating Physical Education (Putting the Idea of Freedom to Learn into Practice), seperti biasa pria ramping kelahiran Kediri itu tampil ngeri-ngeri sedap. Sebelumnya, dia sempatkan menengok pesan singkat dari sahabatnya di Amerika Serikat, Dr Hudak Hendrix. Tiga pesan singkat dia baca perlahan:

  1. Hello my friend, I hope that none of your students or others that I may know were not among those who died in the soccer stadium… how sad.
  2. Such a tragic loss of life.
  3. Sports has been commodified to the point where peoplehave lost all reason and perspective.

Dikatakan, olahraga sudah kehilangan unsur normatif-teleologisnya. Lebih celaka lagi, lebih dikuasai oleh homo-economicus. Tak cukup menjadi ajang kompetisi, tetapi juga ajang konflik sosial, baik horizontal antar kelompok spektator maupun vertikal antara spektator lawan pasukan pengamanan. Pemasyarakatan olahraga kita tersesat terlalu jauh. Pengolahragaan masyarakat kita, justru tertinggal terlalu jauh. Hasrat kompetitif menjadi semacam arwah berwatak jahat, yang merasuki semua ranah kehidupan. Kita besarkan anak-anak sebagai pemuja daya-saing dan persaingan. Padahal, sosiologi mengajarkan, bila kompetisi dinilai tidak jujur dan adil, dengan segera menjadi konflik sosial.

“Harus ada revolusi praksis pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan (PJOK) kita. Tidak hanya dalam perilaku berolahraga, tetapi juga sikap keolahragaan. Apa itu? Jawabnya bisa bermacam-macam dan panjang lebar. Tetapi kita boleh mengutip slogan Prof Hans Westerbeek: Fit, Fun and Friends! Olahraga harus memberi manfaat kebugaran, kegembiraan dan persahabatan. Harus ada reorientasi, agar komodifikasi olahraga tidak merintangi penumbuhan budaya berolahraga (sporting culture). Anak-anak dan remaja harus lebih banyak berolahraga untuk kebugaran, bukan sekadar menonton orang lain berolahraga. Atau, karena mereka atlit profesional, sedang mencari penghasilan,” jelasnya.

metaranews.co
Kelas perdana Sekolah Pascasarjana IKIP Budi Utomo.

Gagasan merdeka belajar (freedom to learn), yang dalam telaah klasik pedagogik dibidani Rogers (1902-1987), diradikalisasi oleh Reimer (1910-1998), Freire (1921-1997), Illich (1926-2002), dimutakhirkan oleh Peter Gray (kelahiran 1944), dan digariskan secara “merdeka” ala Nadiem Makarim (kelahiran 1984) harus diterjemahkan ke dalam praksis-pedagogis. Sifat semata-mata kompetitif yang selain menghasilkan mental pemburu kemenangan (gamesmanship) mengorbankan watak mulia olahraga (sportmanship) harus dihentikan. Ini tak hanya berlaku bagi para atlit, tetapi juga para penonton dan pendukung (spectators and supporters). Sebenarnya, orientasi PJOK kepada cabang olahraga kompetitif demikian, berdasarkan survai tingkat dunia oleh Unesco, sudah disesalkan oleh para pendidik (World-wide Survey of School Physical Education, 2013). Tetapi, khususnya di Indonesia, belum berubah signifikan hingga sekarang.

Hasil kajian mutakhir menegaskan, sudah ada pergeseraran menuju budaya baru olahraga. Sekadar contoh, hasil kajian Jeanes (2019) menemukan hanya 26% orang dewasa yang berpartisipasi dalam olahraga terorganisasi, yang bersifat formal (formal sports). Selebihnya, bukan tidak berolahraga, tetapi melakukan apa yang belakangan disebut olahraga informal (informal sports). Kecenderungannya, partisipaan olahraga formal akan terus menurun, hingga tinggal 15% pada tahu, 2036.

Olahraga informal telah menjadi pilihan baru dan lebih masuk akal bagi sejumlah besar orang. Olahraga informal bukan merupakan cabang olahraga resmi pesta olahraga, keikutsertaan tidak perlu mendaftar, tidak dilakukan di klub olahraga resmi, boleh tetapi tidak harus ada iuran, tidak terjadwal ketat, tidak bertujuan ikut kompotesi, partisipasi terbuka bagi siapa saja, boleh masuk atau keluar setiap saat, tidak ada aturan permainan yang ketat dan baku, dan tidak mengenal tim kawan dan lawan (Jeanes et al, 2019).

Tampakya bila dan hanya bila satuan pendidikan dan tenaga PJOK mengadopsi secara proporsional, misalnya 75% alokasi waktu dan para siswanya, untuk bergiat dalam olahraga informal, maka budaya jasmani (physical culture) dan etika keolahragaan (sportmanship) akan tumbuh dan berkembang. Budaya jasmani menuju kebugaran fisik dan kesejahteraan psikologis sebagai unsur utama penghidupan yang baik (good living), sedangkan etika pribadi dan sosial keolahragaan  merupakan unsur utama kehidupan yang baik (good life).

Ada banyak pilihan olahraga informal. Mulai dari olahraga formal yang dimodifikasi dan bahkan dideformalisasi, olahraga tradisional yang sejak semula bersifat informal, hingga berbagai jenir olahraga gaya hidup yang menjadi pilihan kaum muda sekarang, seperti parkour, petanque, aneka free-style, selancar, skate-board, hingga jenis-jenis olahraga ekstrim dan anti-mainstream.

Secara gamblang tak terbantahkan, guru besar psikologi Boston College, Peter Gray (2013) menegaskan lima pelajaran penting dari permainan atau olahraga informal. Pertama, tidak ada perbedaan nyata antara tim anda dan tim lawan, karena pembagian tim dalam olahraga informal semata-mata bertujuan permainan.

Kedua, agar permainan tetap berjalan, siapa pun harus membuat semua orang senang, termasuk menyenangkan tim “lawan”. Bila tidak, siapa pun boleh berhenti bermain. Olahraga ini bersifat meredeka, termasuk yang paling mendasar, merdeka berhenti setiap saat. Bila tidak boleh berhenti, tidak ada lagi kemerdekaan, tetapi pemaksaan, penindasan dan bahkan perbudakan.

Ketiga, semua aturan, lapangan, dan peralatan dapat diubah dan dibuat oleh para pemain sendiri berdasarkan kesepakatan. Bahkan, seandainya dinilai ada yang terlalu kuat, demi permainan dia harus berjanji tidak menggunakan kekuatannya secara penuh. Biasa juga, misalnya, dalam olahraga informal, peserta yang kuat dan yang lemah, yang besar dan yang kecil, yang tinggi dan yang pendek, dibagi secara merata.

Keempat, apa pun perselisihan yang terjadi, harus diselesaikan dengan argumentasi, perundingan dan kompromi. Kesanggupan mengatur kolektiva secara mandiri ini sungguh amat penting dalam kehidupan sesungguhnya. Para pemain akan menyadari bahwa keasyikan bermain tidak akan terwujud bila mereka tidak mencapai konsensus. Bukankah setiap orang merdeka untuk berhenti atau tidak ikut lagi permainan itu setiap saat?

Kelima, sungguh lebih penting kegembiraan dan keasyikan bermain itu senditi ketimbang memenangkan permainan. Pendapat bahwa kemenangan adalah segalanya menonjol lebih jelas dalam olahraga formal. Sebaliknya, dalam olahraga informal, permainan yang baik, mengasyikkan dan menggembirakan benar-benar lebih penting dibanding menang.

Setelah itu semua, menarik sekali mengutip postingan Peter Gray, “Para pemain yang ‘kalah’ pulang segembira para pemain yang ‘menang’.  Permainan ini, juga merekatkan persahabatan, dan sama sekali tidak menciptakan musuh (The ‘losers’ go home just as happy as the ‘winners’. These games, too cement friendships and do not create enemies).

Menutup kuliah umum, semua diajak berteriak dan bersorak. “Let’s start. F1, fit. F2, fun. F3, friends. Horray!

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *