Refleksi Hari Sarjana Nasional, Fenomena Inflasi Ijazah dan Kemunduran Pendidikan di Kampus

metaranews.co
Direktur Pascasarjana IKIP Budi Utomo Malang, Sakban Rosidi. (Hayyu Setyo/Metaranews)

Metaranews.co, Kediri – Pendidikan tingkat sarjana di Indonesia hari ini banyak diakui para pakar tidak memiliki karakter dan cenderung materialistik, sejumlah fenomena juga terjadi, yang pada akhirnya menciptakan kemunduran didalam pendidikan tingkat sarjana.

Pakar pendidikan, Sakban Rosidi mengatakan, di era 4.0 seperti sekarang ini ada sejumlah fenomena dan pergeseran pemikiran baik dari sistem politik pendidikan, maupun pandangan masyarakat kepada pendidikan sarjana.

Bacaan Lainnya

Fenomena pertama yakni inflasi ijazah dimana banyak sarjana bekerja setara dengan kemampuan setingkat SMA, kompetensi tingkat SMA, bayaran setingkat SMA serta kesulitan tingkat SMA.

“Sekarang ini para sarjana antre untuk mendapatkan pekerjaan setingkat SMA. Baik kompetensinya keahliannya maupun bayarannya. Hal ini lantaran mereka tidak bisa mandiri dan tidak bisa berkreasi sendiri, mereka pokoknya kerja cari aman, ikut orang,” jelas Direktur Pascasarjana IKIP Budi Utomo Malang saat dihubungi Metaranews, Kamis (29/9/2022).

Menurut dia, fenomena Inflasi Ijazah ini dilatarbelakangi politik pendidikan yang memperbolehkan siapa saja untuk menjadi sarjana tanpa adanya proses screening yang jelas dari awal.

“Mau tidak mau, pendidikan kita saat ini siapapun bisa lulus walaupun sebenarnya tanpa ada kemampuan akademisi, yang penting bayar saja pasti lulus, ini masalah besar. Pengalaman saya, ada anak yang seharusnya lulus SMA saja tidak bisa, namun memaksa menjadi sarjana, dan akhirnya lulus juga, karena sistem pendidikan di Indonesia memang begitu, semua lulus, tidak tahu apakah 5 tahun, 7 tahun atau lebih tapi lulus juga,” katanya.

Sakban juga menyebut masyarakat di Indonesia juga memiliki permasalahan pendidikan berlebihan dan gila gelar. Semua orang tua berlomba-lomba menyekolahkan anaknya setinggi mungkin, tanpa berfikir bahwa dalam prosesnya para sarjana membutuhkan pengalaman empirik dan praktik yang cukup.

Imbasnya adalah banyaknya pengangguran di tingkat sarjana. Pengangguran ini dipicu lantaran mereka merasa malu karena bekerja tidak sesuai pendidikan dan gelarnya.

“Siapapun sekarang setelah S1 langsung S2, ini menjadi masalah sebab untuk ke pendidikan S2 itu perlu sekali pengalaman empirik dan praktik yang cukup, karena Studi S2 itu waktunya pendek. Akhirnya karena langsung-langsung seperti itu mereka kaget di lapangan. Akhirnya karena tidak punya pengalaman itu mereka tidak punya pilihan banyak diluar selai menganggur atau gengsi dengan pekerjaan seadanya,” tuturnya.

Problem lain menurut Sakban adalah Kampus yang tidak mendidik mahasiswanya dengan baik, alhasil para sarjana tidak bisa mengembangkan ilmunya di luar kampus.

“Selama ini kampus kita tidak mendidik, namun melatih, buktinya kalau mendidik harusnya para sarjana sekarang ini menjadi manusia terpelajar yang bisa menjadi solusi di masyarakat dan bisa mandiri,” tukasnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *