Metaranews.co, Kabupaten Kediri – Perlahan penari membawa kepang berbentuk kuda keluar dari belakang panggung, tangan kiri mereka memegangi kuat kuda kepang, dan tangan kanan mengayunkan cambuk. Kemudian mereka berjalan di depan panggung.
Alunan suara gong, kenong, dan kendang melebur dengan suara terompet laras pelok. Satu persatu penggemar jaranan berkumpul di depan panggung.
Di depan, kaki-kaki para penari larut dalam alunan musik mayor, atau dalam istilah Jawa Slendro. Tarian mereka bak seorang prajurit yang menunggang kuda hendak maju ke medan pertempuaran.
Di tengah tarian, satu persatu dari ‘penunggang kuda’ itu kehilangan kendali atas diri mereka. Mata mereka hanya terlihat bagian sklera, lapisan mata yang berwarna putih, sembari menari mengikuti alunan nada.
Para penari yang kerasukan terus mengikuti alunan musik, namun gerakan mereka sudah tak seragam dan berangsur agresif.
Bila sudah begitu, para bopo atau tetua siaga. Sesekali mereka memberikan minyak wangi srimpi untuk diminum para penari.
Selain para bopo, ada sekitar delapan orang yang siaga bila para penari yang kerasukan tersebut beradu fisik dengan penari lain.
Selain itu, mereka ini juga bertugas menjaga agar tidak ada kontak fisik antara penari dan penonton.
“Ada dua kemungkinan kalau kontak fisik dengan penonton, penontonya kerasukan atau akan ada perkelahian antarpenari yang kerasukan dengan penonton,” ujar Suti, pria paruh baya saat ditemui di warung yang tak jauh dari lokasi pertunjukan Jaranan Jowo, Kuda Surya Bhirawa, di Desa Purwodadi, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri, Rabu (18/1/2022).
Menurut Suti, tugas para penjaga ini tidaklah mudah. Mereka harus berjibaku dengan orang yang kerasukan, sampai kadang hal yang tidak diinginkan terjadi, seperti dipukul menggunakan barongan, terkena bara api dari pembakaran kemenyan, hingga terkena cambuk.
Kendati demikian, mereka tidak takut dan cenderung senang serta puas karena dapat membantu para penari agar terhindar dari bahaya.
“Bagi saya dan yang lain berjibaku dengan hal-hal itu sudah sangat biasa, dan kami lakukan dengan ikhlas. Karena ini seperti panggilan batin yang seolah harus kami lakukan,” ungkap Suti.
Suti sendiri dulunya merupakan penari jaranan. Bisa dibilang ia sangat mencintai dan menikmati sekali saat berperan sebagai pemain kuda lumping.
Kecintaan itu dibuktikannya hingga saat ini. Setiap kali ada pertunjukan, Suti selalu datang membantu atau sekadar melihat.
“Ini soal roso (rasa) dari hati apapun akan kita lakukan. Bahkan sering kerja pun kita tinggal, asal bisa tampil atau melihat jaranan,” tutur Suti.
Dalam berkesenian jaranan, menurut pengakuan Suti, ia juga tak jarang menolak uang yang diberikan dari pengurus paguyuban jaranan.
Bukan tanpa sebab, baginya kecintaan dibuktikan dengan cara ikut serta dalam paguyuban atau mensuport kegiatan.
“Para penari atau crew dan tim lain di paguyuban jaranan rata-rata karena cintanya mereka kepada jaranan. Kalau dihitung dahulu, saya itu dapat amplop cuma Rp 20 ribu saja, pun kadang kami tolak,” jelasnya.
Senada dengan Suti, Wahyu Guruh Pamungkas, salah satu penari sekaligus orang yang melakukan pengamanan Jaranan Jowo Kuda Surya Bhirawa, menyebut dahulu dirinya pernah punya pengalaman pahit saat menjadi tim pengaman. Ia pernah terkena sabetan cambuk di bagian muka.
Tak hanya itu, pria 23 tahun itu juga menyebut beberapa Minggu yang lalu ia bahkan terkena bara api dari pembakaran kemenyan, hingga lengan sebelah kanannya melepuh cukup lebar.
“Ini lukanya masih hampir kering,” kata Wahyu sembari menunjuk luka di lengan sebelah kanannya.
Saat menjadi tim keamanan, Wahyu mengatakan ada trik khusus yang dipakai agar ia mudah memegang penari yang kesurupan.
“Triknya dipegang di bagian sabuk belakang dan kaki kiri, masuk di tengah dua kaki dari penari. Itu kita akan kuat memegang, dan dipastikan kita tidak akan roboh sebesar apapun penarinya,” pungkas Wahyu.