Metaranews.co, Jawa Timur – Indonesia merupakan negara yang mempunyai ragam jenis kesenian. Salah satunya wayang kulit.
Kesenian ini begitu populer di tanah Jawa, khususnya Jawa Timur, Jawa Tengah dan DIY Yogyakarta. Kesenian ini sendiri sudah ada sejak dulu, bahkan menjadi medium dakwah Islam di Nusantara.
Wayang kulit memiliki sejarah panjang, hingga bisa bertahan sampai hari ini, meskipun, pementasannya di era modern saat ini begitu langka.
Asal usul kesenian ini sendiri diketahui sudah ada sejak tahun 840 Masehi. Berdasarkan penjelasan cerita serta penyajiannya, ada kurang lebih 40 macam wayang kulit.
Jika didefinisikan secara bahasa, wayang berasal dari kata ma hyang yang artinya ‘Menuju Kerohanian Yang Maha Kuasa’. Namun, versi lain menyebutkan bahwa wayang berasal dari teknik pertunjukan yang mengandalkan bayang-bayang di layar.
Tidak heran, jika kita menyaksikan pementasannya, kita disajikan adegan setiap karakter wayang melalui bagian depan layar atau bayangan dari belakang layar.
Wayang kulit merupakan sebuah seni pertunjukan yang menggunakan elemen dari bahan kulit, entah kulit sapi, kerbau maupun kambing yang diukir hingga menjadi sebuah karakter.
Pementasannya sendiri dimainkan oleh seorang dalang yang menjadi monolog pencerita serta menjadi subjek yang memainkan wayang.
Setiap pementasan selalu menyajikan cerita yang berbeda. Dalang akan memainkan pementasan dengan menceritakan kisah pewayangan Mahabarata atau kisah Ramayana yang diadopsi dari India.
Dalam pementasannya, seorang dalam tidak sendirian, ada musik penghias pertunjukan yang semakin membuat pertunjukan semakin memiliki nyawa.
Seni pertunjukan wayang kulit biasanya ditampilkan dalam berbagai acara. Wayang kulit dapat dijumpai pada acara budaya, perayaan pernikahan, dan acara lainnya.
Sejarah Panjang
Seperti yang telah ditulis diatas, bahwa pementasan ini memiliki sejarah panjang. Catatan tertua tentang pementasan kesenian wayang kulit atau wayang Purwa ini berasal dari Prasasti Kuti berangka tahun 840 Masehi dari Joho, Sidoarjo, Jawa Timur.
Prasasti itu sendiri menyebutkan kata haringgit atau dalang. Lebih lanjut, asal muasal wayang kulit berasal dari penyempurnaan wayang yang telah ada sebelumnya.
Wayang kulit diperkirakan berasal dari wayang purwa. Dalam bahasa Sanskerta, purwa berarti “pertama“.
Mengenai lakon dalam pertunjukan wayang pada masa awal, Prasasti Wukajani muncul dari masa pemerintahan penguasa Kerajaan Mataram Kuno bernama Dyah Balitung (907 M) atau setelah agama Hindu-Buddha masuk ke Nusantara.
Prasasti tersebut menyebutkan mawayang bwat hyang atau pertunjukan wayang dengan lakon Bima Kumara. Cerita ini adalah jeda dari epos Mahabharata yang mengisahkan tentang kegilaan Kicaka pada Dropadi.
Melansir Tirto, Informasi tentang wayang kulit juga terekam pada relief di candi-candi Jawa Timur abad ke-10 seperti Candi Surawana, Candi Jago, Candi Tigawangi dan Candi Panataran.
Kehadiran wayang kulit pada relief candi di 3 tempat berbeda menunjukkan bahwa kesenian ini sudah menyebar ke berbagai daerah.
Medium Dakwah Syiar Islam di Nusantara
Perkembangan kesenian ini disempurnakan pada masa Islam di Jawa yang diawali dengan berdirinya Kesultanan Demak pada akhir abad ke-15 Masehi.
Ketika itu, kesenian itu tidak lagi eksklusif milik lingkungan keraton. Para pendakwah Islam di Jawa membawa wayang kulit ke komunitas akar rumput.
Para da’i ini mengubah bentuk wayang agar sejalan dengan ajaran Islam dan tujuan dakwah. Salah satu da’i yang gencar menggunakan wayang dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara adalah Sunan Kalijaga, yang juga termasuk salah seorang anggota Wali Songo.
Sunan Kalijaga merupakan orang pertama yang memperkenalkan kesenian ini dengan jenis baru, menggunakan media kulit binatang. Dalam dakwahnya, Sunan Kalijaga kemudian populer dengan sebutan Ki Dalang Sida Brangti.
Selain itu, Sunan Kalijaga juga memodifikasi cerita pementasan wayang dengan menyisipkan dakwah ke dalam pementasannya, seperti memasukkan lakon Dewa Ruci, Jimat Kalimasada, dan Petruk Dadi Ratu, dan lain-lain.
Lakon dalam pertunjukan kesenian ini pada masa Islam masih mengambil cerita dari Mahabharata. Namun, istilah dan karakter baru dimasukkan dalam lakon ini untuk kepentingan dakwah, seperti Punakawan yang terdiri dari Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong.
Penghalusan wayang juga terjadi pada masa Kesultanan Mataram Islam yang dimulai pada akhir abad ke-16 Masehi. Pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613–1645 M) dan Amangkurat I (1646-1677 M), sejumlah karakter wayang baru diciptakan.
Setelah Kesultanan Mataram Islam terpecah menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kesultanan Pakualaman di Yogyakarta serta Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran di Solo, kesenian kesenian ini terus berkembang.
Sampai saat itu, muncul wayang kulit standar yang populer, yaitu gaya Yogyakarta (gagrak) dan gaya Solo (gagrak), disamping sejumlah standar daerah lain yang juga dikenal dan terus berkembang hingga saat ini.
Itulah informasi singkat tentang sejarah wayang kulit, asal usul hingga menjadi alat bagi para tokoh Islam untuk menyebarkan dakwah Agama Islam di Nusantara khususnya di pulan Jawa.