Candi Lor, Tonggak Sejarah Nganjuk yang Rusak Parah, Tak Kunjung Ditetapkan Jadi Cagar Budaya

Candi Lor
Caption: Candi Lor. Doc: Moch Hadi/Metaranews.co

Metaranews.co, Kebupaten Nganjuk – Pohon kepuh berukuran raksasa berdiri kokoh di atas tumpukan batu bata merah di selatan jalan raya Desa Candirejo, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.

Akar pohon kepuh ini mencengkeram, menjalar hingga ke bagian dalam tumpukan batu bata merah tersebut. Adapun kondisi tumpukan batu bata merah ini terlihat terbengkalai, banyak bata yang mulai terkikis.

Bacaan Lainnya

Tumpukan batu bata merah di Desa Candirejo ini sejatinya bukanlah benda biasa, melainkan sebuah bangunan inti candi yang kondisinya rusak parah. Saat ini, kondisi bangunannya sudah tak menyerupai candi.

Oleh warga setempat, tumpukan batu bata merah tersebut dinamai Candi Boto, karena bangunannya dibangun dari batu bata merah ukuran jumbo khas peninggalan kerajaan-kerajaan kuno di Jawa Timur.

Siang itu, Kamis (19/1/2023), seorang pria berkaus hitam tampak sibuk menyapu daun pohon kepuh yang berguguran di sekitar Candi Boto.

Pria itu adalah Paryadi, salah satu juru pelihara Candi Lor, nama lain Candi Boto. Saban harinya pria paruh baya ini bertugas merawat bangunan candi.

Kepada Metaranews.co, Paryadi mengaku tak tahu usia pohon kepuh yang tumbuh kokoh di atas bangunan inti Candi Lor. Pohon tersebut, kata dia, sudah ada sejak dirinya masih kecil, diyakini berusia ratusan tahun.

“Sekarang pohon kepuh ini tingginya mungkin 30 meteran,” kata Paryadi.

Kebaradaan pohon kepuh raksasa ini sangat vital bagi bangunan Candi Lor. Akar pohon yang mencengkeram candi diduga menjadi salah satu faktor bangunan inti candi masih bisa bertahan higga kini.

Kendati bangunan inti candi sudah banyak mengalami kerusakan, kata Paryadi, masih banyak umat Hindu yang melakukan sembahyang di Candi Lor.

Menurut Paryadi, tak hanya umat Hindu dari Kabupatem Nganjuk saja yang melakukan ritual keagamaan di Candi Lor, namun juga umat Hindu dari luar pulau Jawa.

“Masih ada yang datang dari Bali buat sembahyang di sini,” sebut Paryadi.

Pegiat sejarah dari Komunitas Pecinta Sejarah Nganjuk, Sukadi menjelaskan, Candi Lor dibangun oleh raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Timur, Mpu Sindok, pada tahun 937 masehi.

Candi ini dibangun untuk memperingati kemenangan pasukan Mpu Sindok dalam melawan tentara Melayu dari Wangsa Sailendra. Peperangan itu berlangsung sekitar tahun 928 sampai 929 masehi.

Dalam peperangan itu, kata Sukadi, pasukan Mpu Sindok berhasil memukul mundur tentara Melayu berkat bantuan rakyat Anjuk Ladang.

Setelah peperangan ini kelar, Mpu Sindok lantas membangun Wangsa Isyana di Tamlang, kemudian pindah ke Watugaluh yang berada di timur Sungai Brantas, suatu wilayah yang kini masuk Kabupaten Jombang.

“Delapan tahun kemudian (usai peperangan) baru diberikan hak sima swatantra kepada rakyat kakatikan di Anjuk Ladang tahun 937 masehi, delapan tahun setelah penobatan (Mpu Sindok menjadi raja),” beber Sukadi.

Penetapan sima swatantra ini termuat dalam isi prasasti Anjuk Ladang yang ditemukan di Candi Lor. Kini prasasti Anjuk Ladang tersimpan di Museum Nasional, Jakarta.

Kini kemegahan Candi Lor hanya tersisa kenangan.

Bangunan candi yang disusun dari batu bata merah banyak yang mengalami kerusakan, pun yang tersisa hanya tinggal bangunan inti candi, yang masih berdiri karena ditopang akar pohon kepuh raksasa.

Belum Ditetapkan Jadi Cagar Budaya

Kepala Bidang Peningkatan Daya Tarik Destinasi Pariwisata dari Dinas Kepemudaan, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata (Disporabudpar) Kabupaten Nganjuk, Amin Fuadi menuturkan, hingga kini Candi Lor belum ditetapkan sebagai cagar budaya.

Pihak Disporabudpar Kabupaten Nganjuk, kata Amin, sebenarnya sudah beberapa kali mengajukan penetapan cagar budaya kepada kepala daerah. Namun usulan tersebut tak pernah ada tindak lanjut.

“Jadi 2019 sudah kita ajukan yang di awal itu. Terus setiap tahun kami mengajukan, dan hingga saat ini sampai yang kemarin 2022 kita ajukan, belum ada satupun turun SK penetapan cagar budaya oleh Bupati Nganjuk,” ujar Amin.

“Saya sendiri juga bingung sebenarnya itu hambatannya di mana, di apa? Sementara prasyarat-prasyarat yang harus kita penuhi untuk pengajuan itu sudah semuanya sesuai,” lanjutnya.

Berdasarkan informasi yang diterima Amin, pengajuan yang dilakukan Disporabudpar dengan menggandeng im Ahli Cagar Budaya (TACB) Jawa Timur itu selalu mandek di Bagian Hukum Setda Kabupaten Nganjuk.

Belum ditetapkannya Candi Lor sebagai cagar budaya tentu menjadi sebuah ironi. Pasalnya, Candi Lor merupakan saksi bisu, dan tonggak sejarah yang saat ini dipakai sebagai acuan hari jadi Nganjuk.

Di mana peristiwa penetapan daerah Anjuk Ladang sebagai sima swatantra pada 10 April 937 masehi oleh Mpu Sindok setiap tahun oleh pemerintah daerah diperingati sebagai Hari Ulang Tahun (HUT) Nganjuk.

Dengan belum ditetapkannya Candi Lor sebagai cagar budaya, tentu upaya untuk melindungi dan melestarikan objek diduga cagar budaya (ODCB) tidak akan maksimal.

Minim Penetapan Cagar Budaya

Candi Lor nyatanya bukan satu-satunya situs yang hingga saat ini belum ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah daerah. Hampir semua situs di Nganjuk bernasib serupa.

Amin menjelaskan, saat ini baru Masjid Al-Mubarok di Berbek yang ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah. Itupun yang melakukan penetapan adalah Pemrov Jawa Timur, bukan Pemkab Nganjuk.

“Yang sudah ada SK penetapan itu baru Masjid Al-Mubarok Berbek, dan itupun adalah kategori provinsi, jadi cagar budaya peringkat provinsi. Ini ironi,” ucap Amin.

“Karena Nganjuk itu tidak segera mengusulkan, sementara Masjid Al-Mubarok itu memang dari sisi cagar budayanya kuat sekali, karakteristiknya itu kuat sekali, akhirnya pihak provinsi menetapkan sebagai cagar budaya kategori provinsi,” lanjutnya.

Minimnya penetapan cagar budaya di Kabupaten Nganjuk tentunya menjadi sebuah keprihatinan tersendiri. Padahal, kata Amin, wilayah Nganjuk kaya dengan situs maupun benda-benda purbakala.

Sebut saja Candi Ngetos, yang konon merupakan tempat pendharmaan sebagian abu kremasi Raja Hayam Wuruk, raja termasyhur Majapahit. Lalu di kawasan Hutan Tritik juga banyak ditemukan benda-benda purbakala.

Belum lagi banyak makam aulia yang terbesar di berbagai penjuru  wilayah Kabupaten Nganjuk, seperti Makam Syekh Sulukhi di Wilangan, Makam Syekh Malik Al Athos di Ngetos, Makam Syech Zakaria di Patianrowo, dan makam aulia lainnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *