Jejak ‘Mercon’ Dibawa Orang Tionghoa dan Eksis di Indonesia

Jejak 'Mercon' Dibawa Orang Tionghoa dan Eksis di Indonesia
Ilustrasi petasan (Sumber; unsplash.com/@skylargereld)

Metaranews.co, Kediri – Pada bulan Ramadan dan Idul Fitri tradisi menyalakan mercon merupakan hal yang sudah biasa dan lumrah dilakukan oleh orang dewasa hingga anak-anak di berbagai pelosok negeri.

Tradisi menyalakan petasan tersebut tidak pernah bisa hilang meski pemerintah secara tegas melarangnya, karena tak sedikit yang sudah menjadi korban dari ledakan mercon.

Bacaan Lainnya

Nah, meskipun sudah menjadi tradisi, tahukah kamu bagaimana petasan ada dan menyebar di seluruh pelosok Indonesia?

Dikutip dari Wikipedia, petasan, kembang api dan segala jenis permainan ‘meledak’ rupanya berasal dari masyarakat tionghoa. Mainan ini diperkirakan ditemukan pada abad ke-9 oleh seorang juru masak yang tidak sengaja mencampurkan 3 bahan bubuk hitam (black powder) yakni garam peter atau kalium nitrat, belerang (sulfur), serta arang dari kayu (charcoal) di dapur.

Kemudian oleh juru masak tersebut ketiga bahan itu dimasukkan kedalam sepotong bambu, diberi sumbu lalu dibakar dan ternyata dari itu mengeluarkan suara ledakan yang keras.

Lalu, pada abad ke -11 tepatnya di Dinasti Song, sebuah pabrik petasan didirikan. Kemudian menjadi dasar dari pembuatan kembang api karena lebih menitikberatkan pada warna-warni dan bentuk pijar-pijar api di angkasa hingga akhirnya dibedakan.

Baca Juga: Polda Jatim Periksa Satu Orang Saksi Mata Ledakan Petasan di Kediri

Lalu mercon kemudian menyebar ke eropa dibawa oleh Marcopolo pada tahun 1292 dari China ke Italia. Pada saat itu setiap perayaan di Italia selalu diwarnai dengan ledakan petasan.

Kemudian, bubuk mesiu yang ada di petasan juga dimanfaatkan untuk membuat senapan dan meriam. Oleh sebab itu, Italia menjadi negara pertama di Eropa yang memproduksi petasan.

Mercon di Indonesia

Jejak 'Mercon' Dibawa Orang Tionghoa dan Eksis di Indonesia

Beredarnya tradisi mercon di Indonesia tak lepas dari para pedagan tionghoa yang datang ke Batavia kala itu, mereka menyalakan petasan saat Tahun Baru Imlek tiba dan beberapa tradisi lainnya.

Lalu oleh orang Betawi tradisi tersebut ditiru untuk mengungkapkan kegembiraan.

Seorang pengamat sejarah Betawi, Alwi Shahab meyakini bahwa tradisi pernikahan orang Betawi yang menggunakan petasan untuk memeriahkan suasana dengan meniru orang Tionghoa yang bermukim di sekitar mereka.

Namun, pada jaman itu VOC memberlakukan larangan adanya petasan terutama saat musim kemarau. Larangan itu diterbitkan karena saat musim kemarau, barang-barang mudah terbakar. Selain itu, VOC tidak bisa membedakan perbedaan suara petasan dengan tembakan.

Aturan tersebut ada dalam Lembaran Negara (LN) tahun 1940 Nomor 41 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Bunga Api 1939, dimana diantara lain adanya ancaman pidana kurungan tiga bulan dan denda Rp7.500 apabila melanggar ketentuan “membuat, menjual, menyimpan, mengangkut bunga api dan petasan yang tidak sesuai standar pembuatan”.

Baca Juga: Labfor Polda Jatim Duga Fitting Lampu Jadi Pemicu Ledakan Petasan di Kediri

Pelarangan itu rupanya juga diteruskan usai kemerdaan yang dituangkan dalam UU Darurat 1951 yang ancamannya bisa mencapai 18 tahun penjara.

Lalu pada tahun 2008 juga muncul aturan dari Kepolisian Republik Indonesia yang dituangkan dala  Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkapolri) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pengawasan, Pengendalian, dan Pengamanan Bahan Peledak Komersial.

Didalam undang-undang menyebut “Bahwa bahan peledak merupakan barang yang sangat berbahaya dan rawan, sehingga untuk keamanan dan ketertiban penggunaan bahan komersial diperlukan adanya pengawasan dan pengendalian secara khusus”.

Berdasarkan Peraturan Kapolri, bunga api yang diizinkan hanya bunga api yang isian mesiunya lebih dari 20 gram dengan ukuran 2 inci sampai dengan 8 inci.(E2)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *