Sapardi dan Rentetan Bait yang Abadi

Sapardi Djoko Darmono
Foto Sapardi Djoko Darmono. (Instagram @damonosapardi)

Yang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.
Kita abadi.

Metaranews.co, Kediri – Hari ini 83 tahun lalu sepasang suami istri asal Baturono, Surakarta yakni Sadyoko dan Saparian menimang anak untuk kali pertama. Jabang bayi yang yang baru saja lahir itu diberi nama Sapardi Djoko Damono, yang kemudian hari menjadi maestro puisi legendaris.

Waktu memang fana, begitulah tulis Sapardi dalam sebuah syair yang ia tulis. Sebuah gambaran umum dari kehidupan kecilnya.

Sangka menyangka, Sapardi jadi penyair ternama, dan lagi-lagi siapa yang menyangka. Karena waktu itu fana.

Surakarta jadi saksi lahirnya penulis hebat, dari tintanya banyak keluar imajinasi liar, perihal bait cinta yang tak dapat diungkapkan dengan beribu kata.

Surakarta memang kota legendaris, banyak sejarah yang melekat di kota ini. Eksistensi kota ini dimulai saat Sinuhun Paku Buwana II, raja Kasultanan Mataram Islam memindahkan kedudukan raja dari Kartasura ke Desa Sala, sebuah desa yang tidak jauh dari tepi Bengawan Solo.

Kota yang menjadi saksi bagaimana kuatnya Kerajaan Mataram kala itu. Disanalah, Sapardi lahir. Seolah darah pejuang mengalir ke pembuluh darahnya.

Darah para Raja Mataram yang menjadi legenda, tampaknya juga ikut mengalir di tubuh Sapardi kecil. Tangisan pertama Sapardi kecil mengiringi langkahnya mengarungi kerasnya dunia.

Dalam Diriku

Dalam diriku mengalir sungai panjang
Darah namanya;
Dalam diriku menggenang telaga darah
Sukma namanya;
Dalam diriku meriak gelombang sukma
Hidup namanya!
Dan karena hidup itu indah
Aku menangis sepuas-puasnya.

Sepenggal sajak bermakna yang bisa ditafsirkan dengan beragam arti. Ia lahir di kota penuh sejarah, menjelma jadi legenda yang kosong amarah.

Sedikit besar, Sapardi kecil mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat, yang sekarang namanya berubah menjadi sekolah dasar.

Ia mengeyam bangku pendidikan di Sekolah Rakyat Kraton Kasatriyan. Kegilaannya dalam bersyair sudah muncul sejak itu.

Ketika di sekolah ia suka mengunjungi beberapa persewaan buku di kota-nya dan mulai mengenal karya sastra yang ditulis Sutomo Djauhar Arifin, William Saroyan, Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, hingga Mochtar Lubis.

Sejak itu, hidup Sapardi dipenuhi ilmu pengetahuan dan tumpukan buku yang memenuhi isi kepalanya. Besar sedikit, Pada tahun 1955, Sapardi yang tak lagi kecil, masuk ke SMA Negeri 2 Surakarta dan sudah mulai menulis sajak yang dimuat di beberapa surat kabar.

Singkatnya, minat menulisnya berkembang saat menempuh kuliah di Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hingga 1964.

Setelah merampungkan pendidikan sekolah menengah atas, ia melanjutkan berkuliah di Universitas Gadjah Mada, mengambil jurusan Bahasa Inggris.

Semasa kuliah, Sapardi pernah menimba ilmu di University of Hawai, Amerika Serikat pada tahun 1970-1971. Pada tahun 1989, Sapardi berhasil memperoleh gelar doktor dengan disertasi berjudul ‘Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur’.

Karena prestasinya itu, Sapardi dikukuhkan menjadi guru besar di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Lalu ia menjadi dosen tetap di IKIP Malang Cabang Madiun.

Setelah masa jabatannya berakhir, Sapardi kembali menjalani profesinya sebagai dosen tetap Fakultas Sastra-Budaya, Universitas Diponegoro tahun 1968-1973.

Lebih lanjut tahun 1974, Sapardi menjadi dosen tetap di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia dengan jurusan Sastra Indonesia.

Ia juga menjabat sebagai Pembantu Dekan III di universitas tersebut tahun 1974-1982. Sapardi akhirnya naik jabatan sebagai Dekan pada 1966-1999.

Dunia pendidikan menjadikan dunia Sapardi menjadi lebih berwarna. Karya-karya magisnya yang menyayat hati seolah tidak lelang di makan zaman.

Apa yang telah ditulisnya dalam secarik kertas putih itu, melegenda dan selalu dikenang di setiap zaman dan generasi.

Karya-karya magisnya, seperti ‘Hujan Bulan Juni (1994), Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), Arloji (1998), Ayat-ayat Api (2000), Mata Jendela (2000) masih jadi tolak ukur patah hati dan jatuh cinta utama para anak muda.

Sapardi memang telah tiada, 19 Juli 2020 jadi hari berkabung sastra Indonesia. Meskipun telah tiada, karya Pujangga kenamaan ini masih tetap abadi.

Sapardi masih hidup dalam bait-bait indah puisi karangannya.

“Pada suatu hari nanti jasadku tak akan ada lagi, tapi dalam bait-bait sajak ini kau takkan kurelakan sendiri,” Sapardi Djoko Damono.

Penggalan sajak dalam karya ‘Pada Suatu Hari Nanti’ jadi saski jika Sapardi masih hidup dan akan terus hidup dalam setiap lembar per lembar karyanya.

Sajak-sajak indah yang tertulis, bukan hanya sepenggal gabungan huruf per huruf. Sapardi seolah memberikan roh dalam setiap penggalan sajaknya, membuat si pembaca akan terbangun dalam ruang gelisah.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada,”

Begitulah penggalan sajaknya dalam sebuah syair ‘Duka Mu Abadi‘.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *