Metaranews.co, News – Hari Pers Nasional (HPN) menelusuri sejarah dan kenapa diperingati setiap tanggal 9 Februari.
Hari Pers Nasional (HPN) diperingati bertepatan dengan peringatan Hari Ulang Tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
PWI sendiri dibentuk pada tanggal 9 Februari 1946 sebagai bagian dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Lantas seperti apa sejarah Hari Pers Nasional yang diperingati pada tanggal 9 Februari ini? Berikut ulasannya.
Hari Pers Nasional dan Lahirnya Pers di Indonesia sejak Zaman Hindia-Belanda
Cikal Bakal Lahirnya Pers di Indonesia
Hari Pers Nasional memiliki sejarah panjang dari cikal bakal terbentuknya hingga sekarang.
Zaman Hindia-Belanda
Sejarah pers ini bahkan telah bermula sejak masa pemerintahan Hindia-Belanda di Indonesia. Melansir dari laman IndonesiaBaik , penerbitan surat kabar pertama di Indonesia dilakukan pada 7 Agustus 1744.
Yakni pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff yang menerbitkan surat kabar “Bataviasche Nouvelles”.
Selanjutnya pada tahun 1821, ketika Inggris menguasai wilayah Hindia Timur, terbitlah surat kabar berbahasa Inggris bernama “Bataviasche Courant” yang kemudian berubah menjadi “Javasche Courant“.
Surat kabar tersebut terbit sebanyak tiga kali seminggu dan memuat pengumuman-pengumuman resmi dari pemerintah.
Pada tahun 1851, sebuah surat kabar berbahasa Belanda bernama “De Locomotief” terbit di Semarang. Surat Kabar ini memiliki semangat kritis terhadap pemerintah kolonial dan pengaruh yang cukup besar.
Kemudian pada abad ke-19, sederetan surat kabar berbahasa Melayu pun terbit di berbagai wilayah di Indonesia, seperti “Bintang Timoer” (Surabaya, 1850), “Bromartani” (Surakarta, 1855), “Bianglala” (Batavia, 1867), dan “Berita Betawie” (Batavia, 1874).
Meskipun demikian, berbagai surat kabar tersebut para redakturnya masih orang-orang Belanda.
Barulah pada tahun 1907, terbit sebuah Surat Kabar di bandung bernama “Medan Prijaji“. Hal ini dianggap sebagai pelopor pers nasional lantaran diterbitkan oleh pengusaha pribumi bernama Tirto Adhi Soerjo.
Pers Zaman Penjajahan Jepang
Ketika Jepang mengambil alih kekuasaan, sejumlah kebijakan pers di Indonesia pun turut berubah. Semua penerbit asal Belanda dan China dilarang beroperasi.
Dan sebagai gantinya penguasa militer Jepang turut menerbitkan beberapa surat kabar di berbagai daerah di Indonesia. Antara lain ‘Jawa Shinbun‘ di Jawa, ‘Boernoe Shinbun‘ di Kalimantan, ‘Celebes Shinbun‘ di Sulawesi, ‘Sumatera Shinbun‘ di Sumatera dan ‘Ceram Shinbun‘ di Seram.
Pada masa ini pula sejumlah pergerakan dan kekuatan-kekuatan politik muncul dari berbagai kalangan. Seperti golongan nasionalis, agama, komunis dan tentara.
Lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia
Dalam upaya meraih kemerdekaan, wartawan Indonesia selalu turut serta dalam upaya menghapus penjajahan tersebut. Bahkan setelah Proklamasi Kemerdekaan, peran wartawan mempunyai peran strategis dalam mempertahankan kemerdekaan.
Mengutip dari laman Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), perjuangan wartawan tersebut kemudian memiliki wadah resmi. Yakni dengan terbentuknya organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada tanggal 9 Februari 1946.
Pada tanggal 9-10 Febrruari 1946 itu, para wartawan dari seluruh Indonesia berkumpul dan bertemu di balai pertemuan “Sono Suko” di Surakarta. Turut hadir tokoh-tokoh pers pemimpin surat kabar, majalah, wartawan perjuang dan pejuang wartawan.
Pada pertemuan itu kemudian diputuskan:
Pembentukan organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang diketuai Mr. Sumanang Surjowinoto dengan sekretaris Sudarjo Tjokrosisworo.
Anggota komisi yang beranggotakan:
- Sjamsuddin Sutan Makmur (harian Rakjat, Jakarta).
- B.M. Diah (Merdeka, Jakarta).
- Abdul Rachmat Nasution (kantor berita Antara, Jakarta).
- Ronggodanukusumo (Suara Rakjat, Modjokerto).
- Mohammad Kurdie (Suara Merdeka, Tasikmalaya).
- Bambang Suprapto (Penghela Rakjat, Magelang).
- Sudjono (Berdjuang, Malang).
- Suprijo Djojosupadmo (Kedaulatan Rakjat,Yogyakarta).
Dengan berdirinya PWI ini, wartawan Indonesia menjadi semakin memperkuat dirinya sebagai bagian dalam ujung tombak perjuangan nasional menentang penjajahan.
Ini juga melambangkan kebersamaan dan kesatuan wartawan Indonesia dalam tekad dan semangat patriotiknya untuk membela kedaulatan, kehormatan serta integritas bangsa dan negara.
Para Anggota PWI tersebut kemudian bertugas merumuskan hal-ihwal per surat kabar nasional dan usaha mengkoordinasi ke dalam satu barisan pers nasional.
Ratusan jumlah penerbitan harian dan majalah kala itu semuanya memiliki satu tujuan, yakni ‘Menghancurkan sisa-sisa kekuasaan Belanda, mengobarkan nyala revolusi, dengan mengobati semangat perlawanan seluruh rakyat terhadap bahaya penjajahan, menempa persatuan nasional, untuk keabadian kemerdekaan bangsa dan penegakan kedaulatan rakyat’.
Penetapan 9 Februari
Hari Pers Nasional diselenggarakan setiap tanggal 9 Februari bertepatan dengan hari lahir organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Penetapan Hari Pers Nasional (HPN) tersebut berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 5 tahun 1985 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto.
Isu tentang penetapan Hari Pers Nasional ini pertama kali dicetuskan pada kongres PWI ke-28 di Padang pada tahun 1978.
Hal ini sebagai wujud keinginan para tokoh-tokoh pers untuk memperingati kehadiran dan peran pers Indonesia dalam lingkup nasional setiap tahunnya.
Akhirnya setelah 7 tahun lamanya, penetapan Hari Pers Nasional tersebut resmi ditetapkan oleh pemerintah pada tanggal 9 Februari.
Yang kala itu, berada dalam era order baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto.
Pendiri surat kabar nasional pertama “Medan Prijaji“, Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo (Blora, 1880-1918) pun dikukuhkan sebagai Bapak Pers Nasional. Hal ini untuk menghargai jasa-jasanya sebagai perintis jurnalistik nasional.