Metaranews.co, Pendidikan – Membuka kembali catatan sejarah dibalik ditetapkannya tanggal 3 Mei sebagai Hari Kebebasan Pers Sedunia.
Jurnalis merupakan sebuah profesi yang pekerjaannya meliput sebuah berita, atau sederhananya, orang yang secara langsung memberikan informasi kepada masyarakat.
Saat ini, profesi jurnalis masih eksis. Di layar kaca, selalu ada penyiar berita yang memberikan informasi perihal hal tertentu. Di internet, juga berseliweran berita berupa narasi yang ditulis oleh para jurnalis.
Dalam dunia jurnalistik, bohon rasanya jika setiap pelaku di profesi tersebut tidak memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia yang jatuh setiap tanggal 3 Mei setiap tahunnya.
Pada Hari Kebebasan Pers Sedunia yang jatuh pada hari ini, Rabu (3/5/2023) mengangkat tema ‘Shaping a Future of Rights: Freedom of Expression as a Driver for all other human rights’.
Atau, jika diartikan kedalam bahasa Indonesia menjadi ‘Membentuk Masa Depan Hak Asasi: ‘Kebebasan Berekspresi Sebagai Pendorong bagi Semua Hak Asasi Manusia Lainnya’.
Sebagai informasi, Hari Kebebasan Pers Sedunia diperingati setiap tahun oleh seluruh dunia pada tanggal 3 Mei. Tujuan peringatan ini adalah untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya kebebasan bagi jurnalis.
Selain itu, ada juga tujuan lain, yakni mengingatkan pemerintah akan kewajiban untuk menghormati, menjunjung tinggi dan menghargai hal asasi kebebasan berekspresi.
Hak atas kebebasan berekspresi seolah menjadi norma dasar dan faktor utama keberadaan pers. Guna memahami Hari Kebebasan Pers Sedunia, perlu dipahami sejarah lahirnya hari penting ini.
Melansir indiatimes dan UNESCO. Hari Kebebasan Pers Sedunia pertama kali diperingati pada tahun 1993 atau 30 tahun lalu. Peringatan ini merupakan rekomendasi dari General Conference UNESCO.
Dipilihnya tanggal 3 Mei karena tangga tersebut merupakan peringatan Deklarasi Windhoek. Apa itu deklarasi Windhoek?
Deklarasi tersebut merupakan pernyataan prinsip kebebasan pers yang disampaikan oleh wartawan dari Afrika di Windhoek, Namibia pada tahun 1991.
Jauh sebelum itu, para pelaku kerja-kerja jurnalistik, pernah mengalami serangan selama perang saudara di Afrika di abad ke-20. Penyerangan terjadi saat para jurnalis sedang mencari informasi, fakta dan data untuk mengungkap kebenaran.
Bukannya dimudahkan dalam memperoleh informasi, para jurnalis ini malah mendapatkan ancaman, penyerangan, kekerasan bahkan pembunuhan. Karena kejadian tersebut, Ara jurnalis Afrika memutuskan mengambil tindakan berupa pengajuan banding ke Konferensi UNESCO.
Saat itu, Konferensi UNESCO diadakan di Namibia, Windhoek. Karena mendapatkan pengajuan banding yang dilakukan oleh para jurnalis itu, akhirnya UNESCO menanggapi seruan para jurnalis tersebut. Kemudian, Deklarasi Windhoek disahkan dan ditetapkan Hari Kebebasan Pers Sedunia.
Sejak kejadian itu, sampai hari ini, masyarakat dunia mulai menyadari pentingnya peran pers dalam masyarakat demokratis.
Peringatan ini juga menjadi gaung atas hak kebebasan berekspresi karena jurnalis dan sumber peliputannya tunduk pada intimidasi, kekerasan, pelarangan, dan penyensoran.
Peringatan ini juga merupakan ajakan untuk bertindak bagi pemerintah dan organisasi untuk menghormati media dan hak atas kebebasan berekspresi.
Pernyataan ini tertuang dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) atau Universal Declaration of Human Rights.
Peringatan tahun ini juga bertepatan dengan peringatan 30 tahun Konferensi Wina dan Deklarasi dan Program Aksi Hak Asasi Manusia.
Selain itu, peringatan ini juga bertepatan dengan peringatan 75 tahun Deklarasi Hak Asasi Manusia.