Metaranews.co, Malang – Tragedi Kanjuruhan masih menyisakan duka mendalam bagi seluruh Aremania maupun pecinta sepak bola di tanah air. Dalam kasus tersebut arogansi dan tindakan berlebihan petugas banyak dipersoal karena pada akhirnya menimbulkan banyak korban jiwa.
Salah satu Aremania yang tidak bisa disebutkan namanya mengaku bahwa ia melihat dengan mata kepalanya sendiri beberapa korban wanita yang sudah dalam kondisi pingsan tidak bisa mendapatkan pertolongan gegara dicegah oleh pihak kemanan.
“Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri dengan jarak yang tidak jauh dan sangat jelas. Saya masih sangat ingat bahwa ada upaya menghalangi korban untuk mendapatan pertolongan,” ujar Aremania tersebut dalam Konfresi Pers yang diadakan oleh YLBHI hari ini, Rabu (5/10/2022).
Sepengetahuannya, tidak hanya satu kali Aremania meminta pertolongan kepada petugas, namun bukannya mendapatkan pertolongan mereka malah dihadang dengan tameng fiber pasukan huru-hara.
“Pertama, ada 1 wanita yang digotong oleh 4 orang pria, kondisinya seperti sudah lemas. Mereka menuju ke mobil ambulan di lapangan di dekat bens pemain cadangan, di kondisi yang sudah genting seperti itu, saya lihat mereka ditolak sama petugas dan mereka malah didorong dengan tameng,” ujarnya.
Usai itu, menurut dia datang lagi dari arah tribun selatan beberapa laki-laki yang juga membopong seorang perempuan ke mobil yang sama, namun kembali ditolak.
“Lalu dari tribun selatan, dibopong beberapa pria, mereka mau mengevakuasi dan mempercepat pertolongan pertama, namun sama mereka (petugas keamanan) menolak untuk memberikan bantuan, yang menolak orang yang sama,” ujarnya.
Kemudian ketiga kalinya dengan orang yang sama, dan ada penolakan lagi.
“Karena geram saya lihat mereka (Pembopong korban) akhirnya menendang petugas tersebut dan terlihat berteriak,” katanya.
“Akhirnya karena memang tidak ada pertolongan berarti, hanya diberi kardus untuk kipas-kipas saja,” tuturnya.
Menanggapi hal ini, Perwakilan LBH Pos Malang, Daniel Siagian mengatakan, perlunya reformasi di tubuh polri. Hal ini dilakukan untuk memutus mata rantai kekerasan maupun arogansi yang petugas.
“Pentingnya reformasi Polri perlu dilakukan untuk memutus rantai kekerasan yang sama. Kita sampai hari ini masih menelusuri korban, bahwa progres sementara berdasarkan saksi, sudah jelas penggnaan gas air mata menjadi sebab musabab terjadinya kepanikan dan korban jiwa,” tuturnya.