Lika-liku UU Cipta Kerja, dari Jokowi hingga Suara Penolakan

Cipta Kerja
Aksi buruh yang menolak UU Cipta Kerja. (Sumber foto by suara.com)

Metaranews.co, News – Undang-undang Cipta Kerja sampai hari ini masih terus menjadi polemik bagi sebagian kalangan. Khususnya bagi masyarakat sipil.

Meskipun telah disahkan menjadi undang-undang, namun sejumlah suara penolakan muncul dari berbagai kalangan. Seperti yang terjadi kemarin, Kamis (6/4/2023).

Bacaan Lainnya

Ratusan mahasiswa turun ke depan Gedung DPR RI memprotes sahnya undang-undang ini karena dinilai tidak berpihak kepada masyarakat.

Bagaimana sejatinya lika-liku UU Cipta Kerja ini hingga mendapat banyak penolakan dari masyarakat meskipun tetap saja disahkan.

Melansir dari Kompas, Gagasan Omnibus Law Cipta Kerja pertama kali diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden RI periode kedua, 20 Oktober 2019.

Saat itu, kata Presiden, omnibus law diperlukan untuk mengatasi tumpang tindih regulasi di dalam negeri, terutama terkait investasi dan ketenagakerjaan.

Tak lama setelah itu, Jokowi memerintahkan jajarannya untuk menyusun draf RUU Cipta Kerja (RUU). Flash, RUU itu dinyatakan selesai oleh pemerintah pada 12 Februari 2020.

Setelah itu, bola menggelinding di DPR. RUU Cipta Kerja mulai dibahas legislator pada 2 April 2020.

Menanggapi penolakan tersebut, pada 24 April 2020, Jokowi telah mengumumkan penundaan pembahasan RUU Cipta Kerja khusus klaster ketenagakerjaan.

Namun penundaan itu hanya berlangsung lima bulan karena pada 25 September 2020 DPR dan pemerintah kembali membahas RUU tersebut, termasuk aturan klaster ketenagakerjaan.

Disahkan dalam Kurun Waktu Tujuh Bulan

Pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR terus dikebut. Untuk mengesahkan peraturan ini menjadi undang-undang, anggota legislatif rela menggelar rapat maraton.

Dalam kurun waktu tujuh bulan saja, sedikitnya 64 kali pertemuan telah dilaksanakan, termasuk pada dini hari, akhir pekan, dan saat jam istirahat.

Berjalan lancar, pembahasan RUU ini selesai dan dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang pada 5 Oktober 2020.

Buruh kembali menggelar demonstrasi menolak pengesahan tersebut. Meski demikian, rapat paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja tetap akan digelar di gedung DPR.

Dalam rapat itu, Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tetap menolak RUU Cipta Kerja.

Namun suara kedua fraksi itu kalah oleh tujuh fraksi lain yang mendukung pengesahan RUU ini, yakni PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Demokrat. Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Akhirnya, pada 5 Oktober 2020, undang-undang ini pun akhirnya disahkan. Sebulan kemudian atau 2 November 2020, Presiden Jokowi menandatangani peraturan tersebut.

Kebijakan yang tercatat dalam lembaran negara sebagai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja itu resmi berlaku sejak 2 November 2020.

Cacat Secara Formil

Melansir laman resmi Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan beberapa permohonan sidang formal. Majelis Hakim Konstitusi menegaskan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) cacat formil. Untuk itu, Mahkamah menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.

Demikian Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dibacakan dalam sidang putusan yang digelar pada Kamis (25/11/2021) sore.

Dalam Putusan Amar yang dibacakan Ketua MK Anwar Usman, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan Migrant CARE, Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumbar, Mahkamah Adat Minangkabau, dan Muchtar Said.

“Menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat bersyarat sepanjang tidak berarti ‘tidak ada perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak keputusan ini diucapkan’. Menyatakan bahwa UU Cipta Kerja akan tetap berlaku sampai dilakukan reformasi sesuai dengan batas waktu yang ditentukan dalam keputusan ini,” ujar Anwar yang dalam kesempatan itu didampingi oleh delapan hakim konstitusi lainnya.

Dalam putusan setebal 448 halaman itu, Mahkamah juga memerintahkan pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak putusan diucapkan.

Jika dalam batas waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka undang-undang ini dinyatakan inkonstitusional secara permanen.

Menerbitkan Perppu

Melansir laman Setkab, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Demikian disampaikan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Jumat (30/12/2022), dalam keterangan pers bersama Menko Polhukam Mahfud MD dan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej, di Kantor Presiden, Jakarta.

“Hari ini telah diterbitkan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 dan bertanggal 30 Desember 2022,” kata Airlangga waktu itu.

Airlangga menegaskan, penerbitan Perpu tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan mendesak untuk mengantisipasi kondisi global, baik terkait ekonomi maupun geopolitik.

“Pemerintah perlu mempercepat antisipasi kondisi global, baik terkait ekonomi, kita menghadapi resesi global, inflasi naik, kemudian ancaman stagflasi,” kata Airlangga.

Dari sisi geopolitik, lanjutnya, dunia menghadapi perang Ukraina-Rusia dan konflik lain yang belum terselesaikan.

“Dan pemerintah menghadapi, tentu saja semua negara menghadapi krisis pangan, energi, keuangan dan perubahan iklim,” tambahnya.

Airlangga juga menyebut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang UU Cipta Kerja sangat mempengaruhi perilaku dunia usaha, baik di dalam maupun di luar negeri.

Di sisi lain, pemerintah terus mengupayakan investasi sebagai salah satu kunci pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, dengan adanya Perpu ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum, termasuk bagi pelaku usaha.

“Tahun depan karena kita sudah mematok defisit anggaran kurang dari 3 persen dan ini mengandalkan investasi. Jadi tahun depan kita diminta targetkan investasi Rp 1.200 triliun. Karena itu, ini penting, kepastian hukum harus diadakan. Jadi tentu saja dengan terbitnya Perpu Nomor 2 Tahun 2022 diharapkan kepastian hukum dapat terpenuhi dan ini menjadi implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi,” ungkapnya

Penerbitan Perpu ini, lanjut Menko Perekonomian, sejalan dengan peraturan perundang-undangan dan berpedoman pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-VII/2009.

Perjalanan UU Cipta Kerja sampai hari ini masih terus mendapat penolakan. Pro kontra timbul antara perspektif pemerintah dan kalangan masyarakat.

Masyarakat menganggap adanya undang-undang ini menyengsarakan. Sedangkan bagi pemerintah ini merupakan salah satu langkah memajukan ekonomi Indonesia.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *